PAPUA SEDANG DIHANCURKAN

Lahan Proyek Strategis Nasional (PSN) di Merauke, Papua Selatan. Gambar diambil oleh fransiskanpapua.org pada 2 Oktober 2024.

Papua yang kaya sumberdaya alam mendorong banyak pihak ramai-ramai masuk merusak Papua dari segala arah. Lingkungan hidupnya dirusak, kekayaan alamnya dikuras pemodal, rakyat pemilik hak ulayatnya terusir dari tempat tinggalnya, atau bahkan terbunuh dengan berbagai alasan.

suaraperempuanpapua.com – HARI ini, Papua benar-benar sedang dihancurkan secara terstruktur, sistematis, dan masif demi kepentingan pembangunan ekonomi dan keutuhan wilayah negara Republik Indonesia. Papua mau diapakan? Terserah negara dan pemilik modal!

Papua dikepung kehancuran. Pemilik modal didukung negara dan dilindungi aparat keamanan bersenjata masuk ke Papua mengelola berbagai sumberdaya alam dengan sesuka hati demi pembangunan ekonomi.

Penghancuran Papua sudah dimulai sejak 1967 dengan adanya pembukaan  tambang emas dan tembaga di Mimika dan operasi militer setelah Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) tahun 1969. Sejak itu, pengelolaan sumberdaya alam dan operasi militer berjalan bersama di Papua hingga hari ini. Pengelolaan sumberdaya alam untuk pembangunan ekonomi serta operasi militer demi menjada keutuhan negara dan memberi rasa aman bagi rakyat. Belum ada tanda-tanda rakyat Papua sejahtera dan Papua damai.

Banjir besar di Wamena. Rumah warga hanyut dan Perkebunan warga rusak. Foto: olemah.com.

Berbagai aktivitas perusakan Papua yang dilakukan oleh berbagai pihak seperti pembukaan lahan kelapa sawit di Manokwari, Jayapura, Keerom, Merauke, Boven Digoel, Sarmi, dan beberapa wilayah lainnya, pembukaan lahan seluas lebih dari dua juta hektar untuk Proyek Strategis Nasional (PSN) untuk kawasan pengembangan pangan dan energi di Merauke serta operasi militer sejak 1969 hingga hari ini.

Hutan ditebang ambil kayu gelondongan, lahan dibuka dan digusur tanam kelapa sawit dan tebu manis, tanah digali ambil emas, tembaga, nikel, dan rakyat pemilik hak ulayat diam menyaksikan negerinya hancur.

Ditambah lagi penebangan kayu di Jayapura, Sarmi, Yapen, Boven Digoel, Sorong, Manokwari dan wilayah lainnya untuk berbagai keperluan seperti tripleks, kayu gelondongan untuk papan dan balok untuk eksport.

Penambangan emas ilegal pun dilakukan di berbagai wilayah di Papua, seperti di Topo Kabupaten Paniai–Nabire, Kawe di wilayah Yahukimo–Asmat–Boven Digoel–Pegunungan Bintang, Kabupaten Keerom, dan beberapa wilayah lainnya.

Bencana alam pun tak ketinggalan. Akibat penebangan hutan dan pembukaan lahan yang tak terkendali terjadi bencana alam: longsor dan banjir di berbagai wilayah di Papua.

Selain itu, demi pembangunan ekonomi dan kenyamanan rakyat, negara menggerakan aparat keamanannya untuk menumpas rakyat sipil bersenjata yang berjuang untuk Papua merdeka. Papua pun menjadi daerah operasi militer sejak Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) tahun 1969 dan terus berlangsung hingga hari ini. Bahkan kini, di wilayah Papua pegunungan seperti Wamena, Yahukimo, Lanny Jaya, Intan Jaya, Puncak, Paniai, Sorong, Pegunungan Bintang dan beberapa wilayah lainnya menjadi medan perang tiada henti.

Kenapa masyarakat menolak pengelolaan hutan? Bagi rakyat Papua, hutan adalah hidup. Hutan menyediakan makanan dan minuman bagi pemilik hak ulayat secara turun-temurun. Tanah adalah mama yang memelihara dan memberi hidup bagi semua makhluk hidup: manusia, hewan dan tumbuhan.

Selain itu, hutan Papua adalah paru-paru dunia yang paling dilindungi. Terjadi perubahan iklim yang mengancam kehidupan di bumi. Flora dan fauna endemik yang dimiliki Papua sangat beragam, unik, langka dan ada sebagian jenis yang tidak ditemukan di wilayah manapun di dunia ini. Ada beberapa yang dilindungi dunia. Jika hutan dirusak, maka berbagai flora dan fauna yang langka itu akan turut hilang.

Dalam sejarah investasi di Papua, masyarakat pemilik hak ulayat tidak pernah dilibatkan dalam investasi sebagai pemilik modal, investor tidak pernah minta persetujuan pemilik hak ulayat, pemilik hak ulayat kerap mendapat teror dan intimidasi untuk memuluskan investasi dan berbagai praktek kotor lainnya.

Lahan perkebunan kelapa sawit di Papua. Foto: mediaperkebunan.id

Contoh, Proyek Strategis Nasional (PSN) untuk kawasan pengembangan pangan dan energi Merauke di Papua Selatan mengelola lahan seluas lebih dari dua juta hektar tidak pernah dilibatkan secara bermakna, bermusyawarah dan memberikan keputusan persetujuan bebas sejak awal atas proyek PSN Merauke.

PSN di Merauke dimulai pada pemerintahan Joko Widodo dan pada November 2023, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, menetapkan PSN menjadi kawasan pengembangan pangan dan energi Merauke dikelola oleh perusahaan dan berorientasi pada komoditi ekspor.

Masyarakat adat yang terdampak dan terancam PSN Merauke adalah Suku Malind, Maklew, Khimaima dan Yei. Mereka sebagai pemilik tanah, dusun, rawa dan hutan adat, belum pernah diberikan informasi hadirnya proyek PSN di Merauke.

Raja Ampat yang dijuluki “Surga kecil yang jatuh ke bumi” pun sedang dirusak. Keindahan di permukaan laut dan di dasar laut memukau dunia. United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) pun telah memberi status Raja Ampat sebagai Global Geopark (UGGp). Selain itu, tanah Raja Ampat juga mengandung nikel, terdapat di Pulau Gag, Kawe, Manyaifun dan Batang Pele.

 Menurut Yayasan Pusaka Bentala Rakyat bahwa, tambang nikel itu kini dikelola oleh empat perusahaan yaitu PT. Gag Nikel, PT. Anugerah Surya Pratama, PT. Kawei Sejahtera Mining, dan PT. Mulia Raymond Perkasa, dengan luas konsesi lebih dari 21.000 hektare.

Eksploitasi nikel di Gag, Kawe, dan Manyaifun telah membabat lebih dari 500 hektare hutan dan vegetasi endemik Raja Ampat.

Laut biru Pulau Gag dan Kawe yang menjadi rumah bagi 1.511 spesies ikan, kini terancam  akibat penambangan nikel, warna air laut yang semula biru telah berubah jadi coklat.

Dampak penambangan nikel di Raja Ampat adalah warna air laut yang biru berubah jadi coklat, perairan mulai tercemar, adanya limpasan tanah yang memicu sedimentasi di pesisir, berpotensi merusak karang dan ekosistem perairan Raja Ampat.

Perairan Raja Ampat merupakan rumah bagi 75 persen spesies coral dunia dan punya lebih dari 2.500 spesies ikan. Sementara, daratan Raja Ampat memiliki 47 spesies mamalia dan 274 spesies burung. Kekayaan keanekaragaman hayati itu membuat UNESCO menetapkan kawasan Raja Ampat sebagai global geopark.

Jika pemerintah tidak segera menghentikan penambangan nikel, maka UNESCO akan mencabut status Raja Ampat sebagai global geopark.

Suasana kawasan tambang nikel Pulau Kawe, Kabupaten Raja Ampat. Foto: Dokumentasi Warga Raja Ampat/koreksi.org

Aksi penolakan penambangan nikel di Raja Ampat oleh berbagai pihak pun muncul di berbagai wilayah. Tidak hanya di Papua, tetapi juga secara nasional dan internasional. Namun belum ada tindakkan nyata dari pemerintah untuk menghentikan secara permanen penambangan nikel di Raja Ampat.

Jutaan hektar lahan dibuka untuk perkebunan kelapa sawit, tanah digali untuk ambil emas dan nikel, serta pejuang Papua merdeka diberantas.

Papua kini memasukki ambang penghancuran. Tak ada ruang untuk hidup bebas. Yang ada hanya ketakutan, kegelisahan, kepanikan. Yang terancam pergi mencari dunia lain yang lebih aman. Teror, intimidasi, penganiayaan, pembunuhan, pengusiran menebar ke mana-mana. Negeri tak lagi memberi rasa aman. Rakyat Papua yang terancam.

Akibat konflik bersenjata antara pasukan keamanan negara (tentara dan polisi) dan Tentara Pembebasan Nasional Papua Merdeka (TPNPM) warga sipil menjadi korban. Ada yang  dianiaya, ditembak, dibunuh, pengungsian, perkampungan dan fasilitas umum dirusak dan dibakar, serta berbagai kerugian lainnya.

Kondisi ketidakpastian itu membuat, nyaris di seluruh kota di Papua terjadi aksi-aksi yang dilakukan oleh berbagai kelompok masyarakat menuntut penghentian pembukaan hutan, penghentian penambangan emas dan nikel, menuntut penghentian konflik bersenjata serta menuntut dialog damai antara Jakarta dan rakyat Papua.

Masyarakat pemilik hak ulayat bersama berbagai kelompok peduli lingkungan menentang dan melakukan aksi menolak perusakan hutan, serta berbagai lembaga agama, mahasiswa, lembaga masyarakat adat dan pegiat hak asasi manusia meminta para pihak yang berperang untuk berdamai. Namun semua tuntutan dan permintaan yang disampaikan kepada pemerintah itu tak pernah ditanggapi. Perusakan lingkungan hidup dan konflik bersenjata berjalan terus.(*