SIAPA GUGAT SIAPA DI MK PASCA PILEG 2024?

Pares L. Wenda.

suaraperempuanpapua.com – PROSES pemilihan umum dilaksanakan setiap lima tahun sekali, yang kemudian akan diikuti dengan proses hukum. Perlu dipahami dalam konteks otonomi khusus Papua, dalam kaitannya dengan partisipasi orang asli Papua di setiap tingkatan.  Yaitu DPR, DPD, DPRD provinsi dan kabupaten/kota se-Indonesia.

Sementara ini sudah dan akan memasuki proses tahapan gugatan hukum, dan telah kita ikuti bersama proses gugatan Pilpres dan setelah itu akan memasuki proses gugatan PHPU legislatif di Mahkamah Konstitusi.

Dalam tulisan ini, ada tiga hal yang akan diulas. 1) Proses demokrasi telah usai, dimana setiap warga negara telah menyalurkan hak pilihnya dalam memilih Caleg dan calon presiden. Apa yang dirasakan para kontestan Pemilu legislatif perlu diulas agar menjadi catatan penting pada Pemilu-pemilu yang akan datang. 2) PHPU legislatif ke MK, ibarat semua pemain dan pelatih. Jadi, siapa mau gugat siapa? atau siapa mau salahkan siapa? 3) Diskriminasi positif Pileg dalam konteks UU RI Nomor 2 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus Papua?

Pemilu 14 Februari 2024

Proses demokrasi sudah dilaksanakan pada 14 Februari 2024, hasilnya seluruh politisi tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota menempatkan Pemilu kali ini terburuk dari Pemilu-pemilu sebelumnya. Bagaimana dapat disimpulkan bahwa Pemilu kali ini yang terburuk? Diduga kuat bahwa, terjadi politik uang di semua tingkatan dalam proses demokrasi 2024.

Hak kesulungan warga negara telah dijual dengan “kacang merah alias uang”. Masyarakat telah melupakan dirinya dan memberikan suaranya kepada siapa? Mereka telah lupa diri, ketika uang Rp 200.000, Rp 500.000, masuk di tangan mereka bagai disulap. Pada saat yang sama, mereka telah melupakan kontribusi secara individu, partai politik, dan sebagai calon anggota DPR dalam 5 tahun membangun masyarakat di lingkungan mereka.

Pemilih seperti dihipnotis mengikuti apa yang dimaui pemberi uang dan melawan hati nurani, lalu melupakan seseorang yang berbudi luhur yang telah bertahun-tahun hidup berkontribusi bagi mereka. Sampai ada kata “saya kurang apa bagi mereka”. Semua itu dilakukan dalam upaya merawat basis massa.

Tapi sia-sialah semua itu, cinta bersemi demi uang. Ada yang bilang, ini lumrah terjadi di mana-mana di saat momentum politik, membuktikan bahwa partisipasi pemilih akhirnya tidak terjadi secara jujur, adil dan bebas dari politik uang. Secara bersama telah mengkhianati dan melanggar amanat Pancasila dan Konstitusi UUD 1945 serta perundang-undangan yang berlaku dalam penyelenggaraan Pemilu di Indonesia.

Proses demokrasi akhirnya tidak memenuhi amanat Sila Kedua Pancasila, “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”. Hak dasar setiap warga negara harus dihormati tanpa memandang jenis kelamin, suku dan bangsanya untuk dicalonkan dan mencalonkan diri menjadi wakil rakyat. Dalam Pemilu ada rambu-rambu yang diatur untuk lalulintas pelaksanaan demokrasi, tapi tidak dihormati oleh para kontestan Pemilu. Partisipasi warga cenderung lebih mengutamakan uang dan melupakan orang yang selama ini hidup sama-sama saling membantu.

Dalam Pemilu 14 Februari 2024 di Papua, masyarakat bukan memilih Caleg orang Papua asli. Tapi orang Papua memilih Caleg non Papua. Ada dua alasan yang diduga jadi dasar. 1) Orang Papua memilih yang lain karena telah mempunyai hubungan baik sebelumnya dengan Caleg non Papua. 2) Karena pada hari coblosan, orang Papua dapat uang dari orang yang punya uang. Sehingga Caleg orang Papua gagal dapat suara masuk DPR.

Dua kondisi itu bisa terjadi, karena selama ini tidak ada pendidikan politik yang baik bagi rakyat. Malah, yang terjadi selama ini adalah pendidikan politik uang. Hasilnya, terjadi dalam Pemilu 2024. Apakah penyelenggara paham hal ini? Tidak! Masyarakat kita teredukasi dengan sistem politik uang. Karena itu, proses Pemilu 2024 harus dievaluasi.

Evaluasi harus dilakukan agar ke depan partai politik mematuhi amanat konstitusi Pancasila dan UUD 1945, yang menjadi panglima untuk menghormati hak-hak dasar warga negara yang berentitas khusus.

Penyelenggaran Pemilu harus menjamin prinsip keterwakilan, artinya setiap warga negara Indonesia terjamin memiliki wakilnya duduk di lembaga legislatif untuk menyuarakan aspirasi rakyat yang diwakilinya. Hasil Pemilu 2024 menunjukkan, jumlah orang Papua di lembaga DPR secara berjenjang dari daerah sampai ke pusat menjadi minoritas. Hanya beberapa suku saja yang dominan miliki wakilnya di DPRD kabupaten/kota, provinsi dan psusat.

Undang-Undang RI Nomor 02 Tahun 2021 tentang Otsus Papua sebagai implementasi UUD 1945 Pasal 18B ayat 1: “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang.

Ayat 2: Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.

Dalam konteks kepemiluhan dan partai politik dalam UU Otsus Papua No. 02 Tahun 2021 Pasal 28 ayat 1 dan ayat 2 dihapus. Namun, pada ayat (3) menyatakan bahwa, “rekrutmen politik oleh partai politik di provinsi dan kabupaten/kota di wilayah Papua dilakukan dengan memprioritaskan orang asli Papua”.  Dan ayat (4) menjelaskan bahwa, “partai politik dapat meminta pertimbangan dan/atau konsultasi kepada Majelis Rakyat Papua dalam hal seleksi dan rekrutmen politik partainya masing-masing.

Perintah ayat (4) justru tidak terjadi, karena rekrutmen orang Papua dalam partai politik tidak seimbang dan (ayat 3) pun tidak terlaksana di Papua. Karena itu, tidak heran jika jumlah anggota DPRD orang Papua di kabupaten/kota hasil Pemilu 2024 sedikit. Jumlahnya jauh beda dengan hasil Pemilu 2029. Kondisi itu membuat, mantan Bupati Merauke Yohanes Gluba Gebze turun ke jalan mempertanyakan kenapa hak politik orang asli Merauke tidak terakomodasi dalam Pemilu 2024?

PHPU Legislatif ke MK dan Diskriminasi Positif bagi OPA

Semua Caleg orang Papua yang gagal masuk DPR pada Pemilu 2024 mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi RI di Jakarta untuk mendapat keadilan. Siapa mau salahkan siapa? karena semua Caleg dan partai politik adalah pemain rangkap pelatih dalam urusan merebut kursi DPR.

Dalam politik, baik pemenang maupun yang kalah adalah korban dari sistem politik yang telah terkonstruki. Sistem telah banyak berubah dengan adanya perubahan-perubahan peraturan perundang-undangan. Tetapi kebiasaan masyarakat dan kebiasaan partai politik belum berubah.

Rekomendasi

Pemerintah, partai politik, KPU, Bawaslu dan seluruh perangkat penyelenggara Pemilu bahwa, dalam jangka panjang, khusus dalam penyelenggaraan Pemilu agar memperhatikan kekhususan Papua. Yaitu dalam rekrutmen orang asli Papua sebagai Caleg di partai politik harus memperhatikan revisi UU Otsus Pasal 28 ayat 4 dan 5. Yaitu pencalonan anggota DPR di semua tingkatan yang mengatakan bahwa, orang Papua 80 persen dan non Papua 20 persen harus direvisi untuk Pemilu 2029. DPR adalah lembaga negara, tetapi harus dipandang sebagai lembaga hak kesulungan orang asli Papua.

Perlu adanya pendidikan politik untuk membangun pemahaman bersama bagi semua orang yang hidup di Tanah Papua, agar pemahaman pengenai hak politik orang asli Papua terbangun secara terstruktur ke bawah. Siapa yang harus melakukan itu? Pemerintah, partai politik, anggota DPR, akademisi, tokoh-tokoh masyarakat, KPU dan Bawaslu wajib memberikan pemahaman edukatif yang konstruktif.

Sistem penyelenggaraan pemilihan umum secara langsung yang sudah berlangsung sejak 1999 ini, harus dilaksanakan sesuai amanat konstitusi kita. Sehingga diperlukan kekuatan penyelenggara yang harus diperbaharui setiap 5 tahun sekali, agar setiap orang yang ambil tanggung jawab sebagai penyelenggara melaksanakan Pemilu dengan baik dan tertib sesuai amanat konstitus UUD 1945 Pasal 22E ayat (6).

Oleh: Pares L. Wenda. Adalah Pemerhati Sosial Politik dan Mantan Caleg DPRD Kota Jayapura dari Partai Nasional Demokrat.