Peristiwa pembunuhan pimpinan kelompok musik Mambesak, Arnold C. Ap dan Edo Mofu menjadi titik akhir pelestarian dan pemajuan seni musik akustik, lagu dan tari-tarian daerah Papua. Ada satu dua kelompok yang muncul, tapi kemudian bubar dan hilang selamanya.

suaraperempuanpapua.com – TUMBUH patah hilang selamanya. Ungkapan inilah tampaknya dikenakan pada perkembangan seni musik akustik dan lagu-lagu daerah di Papua. Peristiwa terbunuhnya pimpinan Mambesak, Arnold C. Ap dan Edo Mofu membuat para seniman Papua takut dan tidak mengembangkan lagu-lagu daerah Papua. Seni, musik, lagu dan tari pun mati di tempatnya sendiri.
Walau ada satu dua kelompok musik daerah Papua yang muncul, tapi kemudian hilang seterusnya. Apakah karena kondisi sosial dan politik yang masih terus menekan atau memang tidak ada seniman Papua yang berminat mengembangkan musik, lagu dan tari-tarian daerah Papua?
Keadaan ini bisa dilihat dari pelestarian dan pengembangan seni musik, lagu dan tari-tarian daerah Papua pasca Mambesak. Terbunuhnya Arnol C. Ap, pimpinan Lembaga Loka Budaya Universitas Cenderawasih Jayapura pada 1984, yang menandai pembubaran Group Membesak, sekaligus menjadi titik “akhir” dari pengembangan musik, lagu dan tari-tarian daerah Papua.
Selama 41 tahun sejak terbunuhnya Arnold Ap dan Edo Mofu pada 1984 hingga kini (2025), Papua sepi dari hiruk-pikuk musik menyanyi dan menari tari-tarian daerah secara perorangan maupun secara kolektif.
Ada juga beberapa kelompok musik daerah yang muncul seperti di Biak (Kamasan), Hamadi (Mansayori dan Yaromba), Nabire (pimpinan Yance Rumbino) – yang memainkan musik akustik. Tapi tidak bertahan lama. Mereka terbit satu dua edisi kemudian bubar dan hilang selamanya.
Kini, Papua hidup di jaman reformasi dan di masa otonomi khusus. Apakah budaya musik akustik, lagu, dan tari yang telah dirintis Mambesak, dan Yaromba turut hidup?(*