
“KAPP Keerom Bangkit, Tanah Adat Harus Kembali”
SUARAPEREMPUANPAPUA.COM—DI TENGAH SENYAPNYA Perbatasan Timur Papua, satu nama tiba-tiba menjadi sorotan publik: Ortís Nandotarai. Disapa akrab Nando. Sosok muda yang baru saja dipercaya memimpin Kamar Adat Pengusaha Papua (KAPP) Kabupaten Keerom itu langsung menunjukkan arah kepemimpinan yang tegas, berani, dan berpihak kepada masyarakat adat.
Sejak resmi dilantik pada Konferda Kolektif 7 Kabupaten dan 1 Kota di Kabupaten Kepulauan Yapen, 23 Agustus 2025 lalu, Nando tidak ingin menunda waktu. Ia kembali ke Keerom dengan semangat baru: menata kembali administrasi organisasi, mendaftarkan KAPP secara resmi ke Kesbangpol, dan memperkenalkan eksistensi lembaga adat ekonomi ini kepada Pemerintah Kabupaten Keerom.
Namun, langkah awal kepemimpinannya justru diuji oleh isu besar: pelepasan tanah adat seluas ±1.500 hektar milik Suku Bewangkir kepada Serikat Petani Indonesia (SPI). Tanah itu diberikan kepada sekitar 700 kepala keluarga non-Papua, tanpa sepengetahuan dan persetujuan adat. Bagi Nando, kabar itu bukan sekadar pelanggaran administratif, melainkan tamparan terhadap martabat dan hak ulayat Orang Asli Papua (OAP).
“Ini bukan soal tanah semata. Ini tentang harga diri dan hak hidup orang Papua,” ujarnya dengan nada tenang tapi tegas.
Sebagai langkah awal, KAPP Keerom melayangkan permohonan audiensi resmi kepada Bupati Keerom. Dalam surat itu, Nando dan timnya menyampaikan lima tuntutan utama:
- Penyelidikan menyeluruh atas proses pelepasan tanah serta validasi dokumen penerima manfaat.
- Pemeriksaan peran dan tanggung jawab Ketua DPD SPI Papua, bersama jajarannya.
- Penegakan prosedur adat dan hukum dalam setiap pelepasan tanah berskala besar.
- Penghentian seluruh aktivitas di atas tanah hingga penyelesaian hukum dan adat tuntas.
- Kebijakan pertanahan harus berpihak pada Orang Asli Papua (OAP), bukan sebaliknya.
Langkah cepat ini mendapat dukungan luas, terutama dari kalangan adat dan tokoh masyarakat Keerom.
KAPP Bergerak Tepat dan Cepat
Dukungan itu datang salah satunya dari Jack Mekawa, Wakil Ketua III DPRK Keerom sekaligus Ketua Dewan Adat Kabupaten (DAK) Keerom. Dalam pertemuan resmi bersama Nando, diskusi berlangsung hangat, penuh semangat, namun tetap dalam koridor adat.

“Saya apresiasi langkah cepat KAPP Keerom. Ini baru namanya gerakan adat sejati — membela hak, menjaga tanah, dan memperjuangkan martabat orang Papua,” ujar Jack dengan nada berapi-api.
Ia menegaskan, tanah adat tidak boleh diperjualbelikan dalam bentuk apa pun. Satu-satunya jalan yang bisa ditempuh hanyalah kerja sama dalam bentuk Hak Guna Usaha (HGU), dengan syarat penghormatan terhadap hak ulayat tetap dijaga.
“Tanah bukan barang dagangan. Ia adalah warisan leluhur yang harus dijaga. Setelah masa kontrak berakhir, tanah itu wajib kembali ke masyarakat adat,” tegasnya.
Penjaga Tapal Batas, Pelindung Hak Adat
Gerakan Nando dan KAPP Keerom kini menjadi simbol kebangkitan baru di wilayah perbatasan. Mereka ingin membuktikan bahwa pengusaha adat tidak hanya bicara soal ekonomi, tetapi juga tentang kedaulatan, identitas, dan keberlanjutan hidup masyarakat adat Papua.
Di tengah derasnya arus investasi dan modernisasi, KAPP berdiri sebagai benteng moral dan adat — memastikan tanah leluhur tidak hilang dari genggaman generasi Papua.
“Kami akan tetap berdiri di garda depan menjaga marwah tanah adat, memperjuangkan hak ulayat, dan memastikan generasi Papua tidak kehilangan warisan mereka.” tutup Nando.
Di Keerom, tanah bukan sekadar hamparan lahan. Ia adalah identitas, napas, dan simbol keabadian hubungan antara manusia dan leluhurnya. Dan melalui gerakan KAPP Keerom, pesan itu kembali bergema: tanah adat tidak untuk dijual, tetapi untuk dijaga dan diwariskan.(tspp/gm)
