PEMILU TANPA BUKTI

Simon Gimbuwop Anyum. Di depan kotak suara usai coblos pada Pemilu, Rabu 14 Februari 2024 di Balai Kampung Wombon, Distrik Woropko, Kabupaten Boven Digoel. Foto: paskalis keagop/suaraperempuanpapua.com

Keadaan kampung kami Wombon sejak dulu sampai sekarang begini-begini saja. Pemilu itu hanya program pemerintah yang kita ikut. Setelah itu, kami tidak akan pernah dapat apa-apa sampai nanti Pemilu lagi. Kami hanya menjadi budak Pemilu!

 

suaraperempuanpapua.com – SIMON Gimbuwop Anyum. Warga Kampung Wombon Distrik Woropko Kabupaten Boven Digoel. Umurnya sekira 83 tahun. Pukul 9 pagi pada Rabu 14 Februari 2024, ia datang ke tempat pemungutan suara di Balai Kampung Wombon. Setibanya di balai kampung, pemilihan belum mulai. Dengan sabar ia tunggu sampai pukul 12 siang mendapat giliran coblos.

Usai coblos, Simon keluar dari balai berjalan pelan dan berteduh di bawah pohon rambutan lalu menyampaikan pengalaman mengikuti Pemilu pertama sejak usia muda hingga usia senja. Pengalaman Pemilu dan kondisi kampungnya yang tidak pernah berubah diungkapkannya dengan nada kesal:

“Saya ikut pemilihan sejak muda tahun 1971 di Wombon sampai sekarang. Pemilu tidak ada bukti. Saat saya ikut Pemilu 1971 di Wombon, saya baru umur 20 tahun, sampai sekarang saya sudah tua umur 83 tahun. Tidak ada perubahan yang terjadi dalam kampung ini. Kita hanya Pemilu saja terus sampai sekarang.

Warga Kampung Wombon mendengar penjelasan dari petugas penyelenggara Pemilu, Demetria Mimguy sebelum melakukan coblosan pada Pemilu, Rabu 14 Februari 2024. Foto: paskalis keagop/suaraperempuanpapua.com

Saat Pemilu pertama di Wombon, semua masyarakat dari kampung-kampung lain seperti Simiram, Winiktit, Anyumka, Bukit, Tetop, Yundigin, Kuken, Kolopkam, Awaken, Arimbit, Arim Atas, Arim Bawah, dan kampung-kampung lain semua datang berkumpul di Wombon untuk ikut Pemilu pertama tahun 1971.

Saat mau Pemilu, pemerintah hanya kasih simbol partai dengan bibit pohon pisang, pohon beringin, nenas, dan sayur lilin. Lalu semua bibit itu dijejerkan di tengah masyarakat yang disuruh semua duduk melingkar di tengah kampung. Kemudian dijelaskan bahwa bibit pohon itu adalah simbol partai politik peserta Pemilu 1971. Setelah itu, dilakukan pemilihan menggunakan logam isi dalam kotak suara.

Pemerintah juga waktu itu kasih bahan makanan, tapi hanya beras satu karung goni dan gula satu karung goni. Tapi tidak ada kopi, teh, susu, garam, vetsin, ikan kaleng dan supermi. Mereka hanya kasih beras dan gula.

Saat itu banyak orang dari kampung-kampung lain yang datang. Pemilu berlangsung sampai malam. Setelah pemilihan, ditentukan orang-orang untuk menjadi kepala kampung di kampung masing-masing.

Setelah Pemilu 1971, Kampung Wombon dan Kampung Simiram digabung menjadi satu kampung pada 1975, dengan nama Womsim (Wombon-Simiram). Tapi pakai nama Wombon sebagai nama kampung gabungan. Sejak Pemilu pertama di Wombon 1971 sampai sekarang kami tidak pernah mendapat apa-apa dari hasil Pemilu. Jalan raya tidak ada, listrik tidak ada, telepon tidak ada, tiap hari pikul barang dari kampung ke Woropko jalan di tengah hutan, dan kami tetap hidup begini saja dari tahun ke tahun. Tidak ada yang pernah datang lihat kami.

Tenaga pikul kotak suara dari Wombon beristirahat sejenak sebelum menyeberangi Kali Kao dengan sampan dan perjalanan dilanjutkan ke Sekretariat Panitia Pemilihan Distrik Woropko di Kampung Upyetetko. Upyetetko menjadi pusat pleno PPD Woropko, karena di Woropko tidak ada gedung untuk pleno rekapitulasi hasil perolehan suara maupun kegiatan lainnya. Foto: paskalis keagop/suaraperempuanpapua.com

Sedangkan kampung-kampung lain yang ada di Arimop, Iniyandit, Kamka dan lain-lain mereka sudah menikmati hasil Pemilu. Jalan raya, listrik, telepon  dan pembangunn lainnya sudah masuk ke kampung mereka. Mereka gampang kemana-mana dengan mobil dan motor. Kalau kami hidup begini saja. Hasil dari Pemilu ke Pemilu, kami tidak pernah dapat apa-apa. Hanya orang lain di luar sana yang tiap hari menikmati hasil Pemilu.

Tadi pagi saya berdiri di depan pintu lalu berpikir, apakah saya masih akan ikut Pemilu tahun 2029 atau apakah Pemilu 2024 ini adalah Pemilu terakhir yang saya ikut? Orang-orang tua yang pernah ikut Pemilu pertama 1971 di Wombon tinggal kami tiga orang, yaitu saya, Elias Mowen Mimguy dan Agustina Kayokon Komberem. Sementara orang tua lainnya sudah habis. Orang Womsim yang ada sekarang semuanya anak-anak.

Saya lahir di hutan pada jaman Belanda. Jadi, saya tidak tahu saya punya tanggal, bulan dan tahun lahir. Tapi umur saya sudah 83 tahun. Saya menyesal, tiap kali Pemilu, kami tidak pernah merasakan apa-apa. Keadaan kampung kami Womsim sejak dulu sampai sekarang begini-begini saja. Pemilu itu hanya program pemerintah yang kita ikut. Setelah itu, kami tidak pernah dapat apa-apa sampai nanti Pemilu lagi. Kami hanya menjadi budak Pemilu.(*)