15 Januari 1935–1 Mei 2020
Pastor Frans Lieshout OFM, mengabdi selama 56 tahun di Papua, sejak 18 April 1963 sampai pensiun dan pulang ke Negeri Belanda pada 28 Oktober 2019. Kondisi Papua yang dihadapinya jauh beda dengan apa yang dipelajarinya di bangku sekolah.

suaraperempuanpapua.com – PASTOR Frans Lieshout OFM, asal Belanda. Setelah menyelesaikan pendidikannya, ia ditugaskan oleh Ordo Fransiskan untuk berkarya sebagai misionaris di Papua. Tiba di Jayapura, 18 April 1963 bertugas di Keuskupan Jayapura hingga pensiun, Oktober 2019.
Dia pernah bertugas di: Jayapura, Waris, Wamena, Bilogay, Waena, Biak dan memegang beberapa jabatan penting di lingkungan Gereja Katolik Keuskupan Jayapura dalam periode yang berbeda.
Selama 56 tahun, dia tidak hanya bertugas sebagai pastor, tapi juga sebagai guru, dosen, gembala, dokter, antropolog, dan budayawan. Frans menyaksikan langsung berbagai kondisi kehidupan orang Papua di bidang: politik, hukum, sosial, budaya dan sekaligus melayani rakyat Papua dalam berbagai aspek sejak hari pertama pemerintah Indonesia mengambilalih Papua, 1 Mei 1963 hingga pensiun pulang ke negerinya, 28 Oktober 2019.
Setibanya di Amsterdam, Pastor Frans Lieshout OFM, diwawancarai dua media massa di Belanda sebanyak tiga kali pada November dan Desember 2019 serta Januari 2020 mengenai pengalaman hidupnya selama 56 tahun bertugas di Papua. Dua media yang mewawancarainya adalah Trouw dan De Volkskrant. Hasil wawancara Michel Maas, wartawan De Volkskrant, diterbitkan pada 10 Januari 2020 lalu.
Hasil wawancara itu kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Pastor Nico Syukur OFM. Untuk bisa publikasi hasil terjemahan itu, Paskalis Keagop dari Suara Perempuan Papua minta izin Pastor Nico dan menyetujuinya. Upaya itu dilakukan untuk mengenang kepulangan Pastor Frans Lieshout OFM ke rumah Bapa di Surga. Berikut kutipan wawancaranya:
“Saya tiba di Hollandia, Nederlands Nieuw Guinea, pada 18 April 1963. Saya datang ketika Papua masih termasuk Kerajaan Belanda dan bernama Nederlands Nieuw Guinea. Tetapi dua minggu kemudian diambilalih oleh Indonesia, pada 1 Mei 1963.
Saya melihat orang Papua semakin terdesak. Tanggal 1 Mei 1963 ada sebuah kapal angkatan laut yang besar, yang diperlengkapi dengan bendera Indonesia memasuki pelabuhan laut Jayapura. Deknya dipenuhi kaum Tentara Nasional Indonesia. Saya datang ke pelabuhan laut Jayapura menonton kejadian itu.
Selama 56 tahun tinggal di Papua, saya terkesan oleh orang manis, ramah dan sama sekali bukan kafir. Saya telah mendampingi orang Papua selama pemerintahan Indonesia sejak tahun 1963 sampai dengan ‘pemberontakan’ di tahun 2019 yang membenamkan provinsi itu ke dalam darah. Saya hadir selama seluruh perubahan yang telah dialami oleh orang Papua.
Perubahan ialah proses pelenyapan sebuah minoritas yang ditindas dan dihina: ‘monyet’. Begitulah mereka (orang Papua) disebut oleh banyak orang Indonesia.

Saya sempat ikut salah satu penerbangan KLM yang terakhir ke Hollandia, dan pada tanggal 1 Mei 1963 datanglah orang Indonesia.
Khususnya cara orang Indonesia masuk pada waktu itu menyentuh tanah Nederlands Nieuw Guinea, mereka menimbulkan kesan segerombolan perampok. Tentara yang telah diutus itu merupakan kelompok yang cukup mengerikan. Seolah-olah di Jakarta mereka begitu dipungut dari pinggir jalan.
Mungkin benar-benar demikian saat itu saya sendiri melihat amukan mereka. Menjarah barang-barang bukan hanya di toko-toko, tetapi juga di rumah-rumah sakit. Macam-macam barang diambil dan dikirim dengan kapal itu ke Jakarta.
Di mana-mana ada kayu api unggun: buku-buku dan dokumen-dokumen arsip Belanda dibakar. Sebenarnya Nederlands masih ingin memegang Nieuw Guinea beberapa lamanya.
Jutaan gulden telah dikeluarkan Pemerintah Belanda untuk membuat sisa Hindia Belanda yang terakhir ini menjadi jajahan percontohan.
Ibukota Hollandia mempunyai toko-toko yang terbaik, sekolah-sekolah terbaik dan rumah-rumah sakit yang terbaik. Dengan cara mantap yang sama Belanda bermaksud mengantar tanah jajahannya ini menuju kemerdekaan. Bahkan telah mendidik sejumlah orang Papua untuk mengambilalih pemerintahan, tetapi sayangnya, Papua tidak bernasib untung.
Perserikatan Bangsa–Bangsa, dan khususnya Amerika Serikat, telah memaksa Nederlands melepaskan kolonialnya, karena mereka tidak mau bertengkar dengan Indonesia. Zaman itu zaman Perang Dingin, dan negara muda ini jangan sampai bergabung dengan blok komunis.
Pasukan Belanda berangkat dan pada 1 Mei 1963 Indonesia mengambilalih pemerintahan. Soekarno datang dua, tiga hari sesudah pengambilalihan pemerintahan. Soekarno berdiri di atas kapal perang, paling kemuka, di geladak depan kapal.
Gambar ini bersifat simbolis bagi cara bagaimana orang Papua akan diperlakukan di masa depan. Wajah Indonesia dari semula wajah kuasa sebuah militer. Mungkin, jika sekiranya mereka lebih ramah sedikit, mereka disambut dengan hangat. Sekarang, dari semula ada aversi itu, yang terus bertambah saja.
Sebelum datang ke Nederlands Nieuw Guinea, kita dipersiapkan dengan pengetahuan mengenai Nederlands Nieuw Guinea melalui penjelasan-penjelasan disertai foto–foto dan slides. Untuk menunaikan tugas di Nieuw Guinea, selama tahun-tahun pembinaan kita dibina oleh para Fransiskan sebagai ‘saudara muda’, tiap–tiap tahun pasti ada yang datang berbicara tentang daerah misi.

Namun kenyataannya, berbeda sekali dengan apa yang saya bayangkan di Nederland selama masa persiapan sebelum datang ke Nederlands Nieuw Guinea. Ceritera–ceritera burung disertai slides mengenai alam yang indah.
Nama Nieuw Guinea mengandung makna khas pada waktu itu. Sedang diperlukanlah lelaki–lelaki kuat untuk menguatkan misi di Nieuw Guinea. Saya senang ditunjuk untuk misi di Nieuw Guinea dan bukan, misalnya di Pakistan.
Selama tahun pertama, saya dipersiapkan untuk tugas di Lembah Balim, bagian Papua yang belum dapat dikembangkan.
Lembah yang terletak dalam pegunungan yang tak terhampiri itu baru ditemukan (dari dalam pesawat terbang) pada tahun 1938. Akan makan waktu sampai 1956 sebelum di situ pos pemerintahan Belanda didirikan.
Hampir tidak ada orang bule, hanya segelintir saja. Saya bukan yang pertama, tetapi pada zaman itu betul–betul zaman pembukaan wilayah–wilayah baru.
Sampai sekarang lembahnya hanya dapat dicapai dengan naik pesawat. Kenyataan inipun membuat tahun–tahun pertama saya di sana cukup sulit. Sebab, misi belum mempunyai pesawat sendiri. Bahkan yang kecilpun belum.
Satu–satunya pesawat yang kadang–kadang datang, yaitu pesawat pemerintah yang bertujuan membekali para pegawai. Kami hanya diperbolehkan menitip beberapa kilo saja. Itu memang masalah. Waktu itu saya merokok seperti kereta api, tetapi hanya mendapat satu bungkus perbulan. Makanya, saya merokok apa saja yang mengeluarkan asap. Memang tidak begitu sehat.
Rumah pun tidaklah tersedia bagi orang-orang baru yang mulai bertugas di Lembah Balim. Pemondokan kami yang pertama, kami sendiri yang membangunnya. Dibuat dari kayu bulat dan paku–paku sejauh tersedia, paku kayu yang panjang. Rumahnya terdiri dari dinding gelagah dan atap gabagaba.
Kami memiliki lampu patromax, tetapi minyak yang tersedia cukup sedikit sekali. Maka hanya beberapa kali sebulan kami dapat membiarkan lampu itu menyala berjam–jam lamanya. Oleh sebab itu, tiada pilihan lain daripada pergi tidur tempo dan bangun pagi–pagi.
Dan apa lagi yang dapat kami lakukan sebagai misionaris di sebuah daerah yang jarang atau malah belum pernah melihat seorang misionaris kulit putih? Berjalan kaki!
Setiap hari selama satu jam, kami belajar bahasa. Dan setiap pos pastor mempunyai klinik mini dimana pagi hari kami melayani pasien. Dengan penisilin dapat dilakukan mukjizat.
Kami juga membangun sekolah–sekolah kecil, memelihara rumah kami dan kebun. Dan kami ikutserta dalam semua acara. Acara itu banyak sekali: kematian, perkawinan, inisiasi, kesuburan, pembukaan kebun baru atau rumah baru.
Segala-galanya disertai tata cara ritual dan kami mengunjungi semua. Ya, tidaklah sulit bagi kami untuk mengisi waktu. Dan kami selalu membaca banyak.
Sambil duduk di tanah ia menyusui seorang bayi di setiap susu. Saya tiba di kampungnya dan ibu itu duduk di situ, berselubungkan kain. Ketika melihat bahwa saya tengok, ia membukakan selubungnya dan saya melihat bahwa ia sedang menyusui anak kembar.
Hal itu terjadi di salah satu kampung dimana belum pernah muncul satu orang Barat pun. Inipun termasuk pekerjaan rutin kita: pergi ke kampung–kampung yang belum pernah didatangi orang luar. Rupa–rupanya sulit, tetapi sebenarnya paling gampang.
Penduduk kampung–kampung itu sangat suka menerima tamu. Selamat datang, silakan duduk, ambillah rokok, lalu mulailah percakapan dengan sendirinya. Mereka menceriterakan kisah–kisah mereka. Kemudian menyusullah kisah kami.
Saya semakin terkesan mendengar apa yang diceritakan orang kampung. Mereka sudah mengetahui semuanya tentang membangun rumah, tentang membuka kebun. Dalam Lembah ini, telah dibangun sebuah masyarakat yang sudah bertahan tak kurang dari berabad–abad lamanya. Mereka sama sekali tidak memerlukan kami.
Selama bertugas di Wamena, saya menulis empat buku tentang budaya Lembah Balim. Buku–buku itu ditulis dalam bahasa Indonesia.
Dalam buku itu saya bermaksud mendekati budaya mereka secara positif. Segala prasangka itu yang tidak klop. Orang Papua dipandang sebagai penyembah berhala. Bukankah dalam sekian banyak museum diperlihatkan patung–patung kecil dengan teks: “patung berhala?” Mereka dipandang sebagai orang kafir. Tetapi jika menggali baik–baik, kita temukan gagasan-gagasan yang amat bagus.
Negara Indonesia tidak pernah berminat akan kultur Papua. Mereka hanya ingin memiliki sisa terakhir dari jajahan Belanda itu beserta sumberdaya alamnya. Seperti persediaan emas yang banyaknya luar biasa di Gunung Ertsberg.
Sejak semula prasangka orang Indonesia amat besar. Mereka berpendapat bahwa orang Papua tidak mempunyai budaya. Nyanyian dan tarian Papua dilarang. Di tahun tujuh puluhan, mereka melaksanakan operasi koteka. Orang Papua dipaksa mengenakan pakaian kebarat–baratan untuk mempercepat proses asimilasi. Hal ini bertolak belakang dengan kemerdekaan yang dijanjikan kepada orang Papua oleh orang Belanda.
Bendera Bintang Kejora sudah diakui oleh Negeri Belanda sebagai bendera Papua. Berkibar di samping bendera Belanda dan sama tingginya. Tanggal 1 Desember 1961 bahkan diberikan tanda mulai bagi proses menuju kemerdekaan.

Sejak saat itu bendera Papua umum diterima dan berada di mana–mana. Tetapi ketika orang Indonesia datang, keadaannya serta–merta berubah. Benderanya dilarang dan orang yang toh mengibarkannya dihajar.
Indonesia mencaplok Nieuw Guinea. Memang masih dilangsungkan sebuah referendum, sebab Indonesia telah menjanjikannya kepada PBB dalam Act of Free Choice. Tetapi daripada referendum yang sejati, dikumpulkanlah 1.025 kepala suku dan pemuka adat yang dikepung oleh anggota TNI agar dengan suara bulat memilih pro integrasi ke dalam Republik Indonesia.
Referendum itu hanya banyolan saja. Tetapi embrio kemerdekaan telah ada. Orang Papua tetap memendam harapan akan kemerdekaan sampai pada hari ini.
Setiap tahun pada 1 Desember mereka memperingati momentum tahun 1961 itu sebagai Hari Kemerdekaan mereka, dan setiap tahun otoritas Indonesia sangat tegang.
Di zaman dahulu, pertanyaan yang selalu diajukan yaitu berapa jiwa sudah kau menangkan bagi Tuhan? Berapa orang telah kau pertobatkan? Berapa orang yang kau buat berubah pikirannya? Tetapi bukan demikianlah karya misi! Ketika saya diutus, visi tentang karya misi sudah bukan begitu lagi.
Saya tidak mau menggurui orang dengan mengatakan bagaimana mereka harus hidup atau apa yang mesti mereka tinggalkan. Saya datang dengan pikiran terbuka.
Dalam adat–istiadat lokal, saya menemukan gagasan indah, bahkan prinsip-prinsip biblis. Dalam ritus penyucian yang saya lihat dalam kampung tempat dia berada terlihat kombinasi dari pembaptisan, pengakuan dosa, dan ekaristi. Saya berada di kampung itu ketika seluruh penduduknya bersiap–siap untuk mengadakan seremoni.
Mereka menuju tepi sungai, dimana mereka membuat deretan panjang. Seorang pria masuk ke dalam air setinggi lutut, berbalik lalu mengatakan bahwa ia pernah berhubungan asmara dengan wanita yang bersuami dan pernah mencuri seekor babi.
Kemudian ia mencuci siku dan lututnya. Orang kedua pun masuk ke dalam air, dan akhirnya semua masuk dan satu–persatu mereka menyatakan kesalahannya. Demikianlah seremoni mereka, pengakuan dosa bersama: “Kami telah melanggar aturan. Dan sesudah itu ada pesta. Tak seorangpun marah. Tiada perkara lagi. Sudah selesai. Hebat itu!
Waktu itu, saya menulis tentang simbol-simbol dasariah, tentang tobat dan tentang ekaristi, hal makan bersama. Di saat seremoni tadi, mereka dapat saling menghukum karena kesalahan yang telah diperbuat. Tetapi hal itu kiranya akan mengganggu ikatan satu sama lain dalam komunitas dan juga ikatan dengan para leluhur. Dengan cara ini harmoni dipulihkan.
Apa yang saya dapatkan di sana, yaitu agama Kristiani tanpa Kristus. Kami hanya perlu menambahkan Injil padanya. Kami tidak mengambil sesuatu apapun dari orang-orang, kami menyempurnakan apa yang sudah ada pada mereka. Mereka dapat menyatakan sesuka hatinya.
Sebagian besar dari wilayah Papua ditutup bagi orang luar dan pemberitaan dari dalam provinsi disensor. Orang Papua telah menjadi minoritas di negerinya sendiri. Pendatang dari Jawa dan dari pulau-pulau lainnya di Indonesia mengungguli mereka, di segala bidang. Orang Papua akan berakhir seperti para Aborijin di Australia. Amat sangat menyedihkan. Papua tetaplah luka bernanah di Indonesia.
Saya tiba di Papua pada 18 April 1963 sebagai misionaris Fransiskan dan berkarya selama 56 tahun. Sebagian besar waktu saya habiskan di Lembah Balim, Wamena selama 25 tahun, 9 bulan. Dan saya memutuskan untuk menjadi warga negara Indonesia, tahun 1986”.
Paskalis Keagop
