
SUARAPEREMPUANPAPUA.COM—Pagi itu, udara di Kampung Holuwon sejuk dan bersih, seperti lembar baru kehidupan yang siap ditulisi. Anak-anak SD Jhon D. Wilson tertawa riang sambil memeluk bibit pohon di tangan mungil mereka. Di antara mereka berjalan seorang guru muda bernama Melani Wamea. Wajahnya teduh, langkahnya tenang, suaranya lembut memanggil nama murid-muridnya satu per satu.
Hari itu, mereka hendak menanam pohon. Sebuah kegiatan sederhana, tapi penuh makna. Melani percaya, menanam bukan hanya tentang menghijaukan bukit, melainkan juga menumbuhkan harapan bahwa di tanah yang keras sekalipun, kehidupan bisa tumbuh bila dirawat dengan kasih.
Namun, perjalanan menuju bukit yang semestinya menjadi pelajaran tentang alam dan cinta, berubah menjadi tragedi. Di tengah langkah-langkah kecil menuju masa depan, suara tawa terhenti, dan harapan itu direnggut dengan cara yang tak terbayangkan. Melani ditemukan dalam kondisi kritis — tubuhnya memar, suaranya terhenti, tapi semangatnya seolah masih menggema di antara dedaunan yang belum sempat ia tanam.
Beberapa jam kemudian, kabar duka itu menyebar: Guru Melani Wamea telah tiada. Ia pergi bukan karena lelah, tapi karena kekerasan yang tak semestinya menyentuh ruang pendidikan. Polisi menduga serangan itu dilakukan oleh kelompok bersenjata, namun bagi anak-anak yang kehilangan guru mereka, yang hilang bukan sekadar nyawa, melainkan pelita yang menyalakan arti belajar dan kasih sayang.
Kisah tentang Melani Wamea bukan sekadar catatan kriminal di beragam media massa. Ia adalah jeritan sunyi yang menembus batas hutan dan pegunungan Papua. suara seorang guru perempuan yang setiap pagi bangun lebih awal dari matahari, menyiapkan dirinya bukan untuk kemewahan, tapi untuk mengajar anak-anak agar tahu arti hidup yang bermartabat.

Ia datang ke sekolah dengan senyum sederhana, membawa buku, kapur, dan cinta pada tugasnya. Di tangannya, pendidikan bukan sekadar profesi, melainkan ibadah yang menumbuhkan manusia. Tapi di tengah pengabdian itu, nasib mempertemukannya dengan kekerasan yang merampas nyawa dan impian. Ia gugur bukan di medan perang, tapi di medan pendidikan sebagai wahana yang seharusnya ilmu dan kasih bertumbuh, bukan peluru dan kebencian.
Tragedi ini membuka luka yang dalam: luka tentang bagaimana keamanan di pedalaman masih rapuh, bagaimana perempuan yang berjuang di garis depan pendidikan sering dibiarkan berjalan sendirian tanpa perlindungan, dan bagaimana negara serta masyarakat kadang terlambat hadir untuk melindungi mereka yang seharusnya dijaga seperti cahaya.
Melani mungkin telah pergi, tapi kisahnya adalah panggilan nurani, agar kita semua, sebagai bangsa dan sebagai manusia, tak lagi memandang kekerasan terhadap guru hanya sebagai berita, melainkan sebagai kehilangan bagian dari hati nurani kita sendiri.
Melani: lebih dari sekadar profesi
Rekan-rekan dan keluarga menggambarkan Melani sebagai pribadi penyayang dan gigih. Melani adalah sosok perempuan muda yang memilih tetap mengabdi di daerah yang sulit, memberi pelajaran bukan hanya tentang membaca dan menulis, tetapi tentang hadirnya masa depan bagi anak-anak kampung. Kehadirannya di sekolah mencerminkan komitmen banyak guru perempuan yang bertahan di lini paling rawan pendidikan di Papua, mereka mengajar, merawat, dan seringkali menjadi figur pengganti orang tua bagi murid-muridnya. Kehilangan Melani meninggalkan lubang emosional yang dalam bagi sekolah dan komunitas.

Tapi ada dimensi gender yang tak boleh diabaikan, serangan terhadap tenaga pendidik perempuan membawa pesan yang berbeda di masyarakat patriarkal atau yang sedang menghadapi konflik. Korban perempuan bukan hanya mengalami kehilangan nyawa, melainkan juga risiko stigmatisasi, trauma berkepanjangan pada anak didik (banyak di antaranya masih anak perempuan), dan menurunnya partisipasi perempuan untuk berperan di kancah publik di masa depan. Ketika seorang guru perempuan dibunuh di tengah kegiatan sekolah, yang dirampas bukan semata nyawa seorang individu, melainkan keberanian perempuan lain untuk berdiri mengajar di ruang-ruang publik yang rentan.
Kegentingan pendidikan di zona merah
Kematian Melani menegaskan bahwa upaya pendidikan di pedalaman sering beroperasi di garis depan risiko keamanan. Sekolah-sekolah yang menjadi titik berkumpul anak-anak untuk belajar juga menjadi rentan terhadap kekerasan. Kasus ini memaksa kita menanyakan ulang: bagaimana strategi perlindungan bagi tenaga pendidik yang bekerja di daerah konflik? Apakah ada jalur evakuasi yang memadai, komunikasi darurat, atau protokol keselamatan khusus ketika kegiatan pembelajaran dilaksanakan di luar ruang kelas seperti penanaman pohon? Pihak kepolisian menyatakan sedang menyelidiki dan mengejar pelaku; keluarga serta publik meminta penegakan hukum yang tegas.

Seruan untuk perlindungan bukan hanya soal mengerahkan aparat semata. Pendekatan perlindungan harus bersifat holistik: sinergi antara pemerintah daerah, aparat keamanan, komunitas adat, sekolah, dan organisasi sipil untuk merancang zona aman pendidikan, termasuk peta risiko, kanal pelaporan yang bisa diakses warga, dan program mitigasi yang melibatkan masyarakat adat sebagai penjaga keamanan lokal. Ini juga termasuk pelatihan keselamatan bagi guru, akses kesehatan mental bagi murid dan staf, serta kebijakan insentif yang membuat tugas mengajar di pedalaman berkelanjutan dan terasa aman.
Suara keluarga dan komunitas
Di rumah duka yang sederhana, isak tangis berpadu dengan doa. Di sudut ruangan, foto Melani Wamea terpajang dikelilingi bunga dan lilin kecil yang menyala. Setiap orang yang datang — tetangga, rekan guru, murid, hingga pejabat — membawa beban yang sama: kehilangan dan pertanyaan yang belum terjawab. Di tengah kesedihan itu, keluarga Melani menyampaikan satu permintaan yang sesungguhnya sangat sederhana namun sarat makna: keadilan.
Mereka tidak meminta lebih, hanya agar pelaku segera ditemukan dan hukum ditegakkan, supaya tak ada lagi ibu, anak, atau saudari lain yang harus merasakan luka sepedih ini. Bagi mereka, keadilan bukan sekadar vonis di pengadilan, melainkan bentuk penghormatan terakhir kepada seorang perempuan yang hidupnya dipersembahkan bagi masa depan anak-anak Papua.
Polda Papua bersama instansi terkait telah hadir memberi penghormatan, memastikan penyelidikan berjalan, dan berjanji mengusut tuntas tragedi ini. Namun di luar itu, suara kabar masih berkelindan — sebagian menampik keterlibatan, sebagian menduga motif lain. Di tengah simpang-siur informasi, keluarga dan rekan-rekan di sekolah memilih diam dalam doa, menunggu kepastian yang memberi ruang bagi mereka untuk benar-benar berkabung, tanpa ketakutan baru menimpa anak-anak yang ditinggalkan gurunya.

Di balik wajah-wajah murid yang kehilangan, tampak trauma yang tak bisa diukur dengan angka. Mereka bukan hanya kehilangan seorang pengajar, tetapi sosok ibu, sahabat, dan pelindung yang membuat mereka percaya bahwa sekolah adalah tempat paling aman di dunia. Maka, memperjuangkan keadilan bagi Melani bukan sekadar membela satu nyawa perempuan, tetapi menjaga agar ruang belajar, terutama bagi anak-anak perempuan Papua, tetap menjadi tempat yang penuh cahaya, bukan bayang-bayang ketakutan. Karena setiap guru perempuan yang pergi karena kekerasan, meninggalkan lubang dalam kemanusiaan kita bersama.
Pesan bagi publik Papua, pendidikan barometer kemanusiaan
Kepergian Melani Wamea seharusnya menjadi panggilan nurani bagi seluruh masyarakat Papua. Tragedi ini bukan sekadar kisah kehilangan seorang guru, melainkan peringatan keras bahwa pendidikan bukan hanya urusan kurikulum, gedung, atau angka kelulusan — ia adalah urusan kemanusiaan, tentang keberanian seorang perempuan berdiri di tengah keterbatasan untuk menyalakan cahaya pengetahuan.
Ketika seorang guru seperti Melani tidak lagi aman, maka bukan hanya satu nyawa yang hilang. Yang hilang adalah kesempatan anak-anak untuk bermimpi, ruang aman bagi perempuan untuk mengabdi, dan pijakan komunitas untuk menatap masa depan. Di balik kekerasan yang menimpanya, sesungguhnya terlukis rapuhnya perhatian kita terhadap mereka yang menjadi penopang peradaban. para guru yang diam-diam menanam masa depan di tanah yang belum sepenuhnya damai.
Pendidikan sejatinya memiliki kekuatan yang menakjubkan: ia mampu menyembuhkan luka, menjembatani perbedaan, dan menumbuhkan empati di tengah masyarakat yang sering terkoyak oleh kekerasan. Melani adalah bagian dari kekuatan itu. seorang perempuan yang memilih mengajar sebagai bentuk cinta terhadap bangsanya. Menjaga guru seperti Melani berarti menjaga denyut kehidupan Papua; menjaga hak anak-anak untuk belajar tanpa rasa takut, dan menjaga keberanian perempuan untuk terus berdiri, mengajar, dan mencintai negerinya tanpa harus membayar dengan nyawa.
Menutup luka, menanam harapan
Di bukit Sogondek, lokasi penanaman pohon yang (kini) diselimuti duka itu, bibit-bibit pohon yang belum sempat tertanam berdiri sunyi, seolah menunggu tangan-tangan kecil yang dulu hendak menanamnya bersama sang guru. Di antara tanah yang masih basah oleh air mata, tersimpan simbol yang dalam bahwa pendidikan sejatinya adalah tentang menanam. Yah, menanam nilai, menanam keberanian, dan menanam kehidupan.
Melani Wamea telah tiada, namun semangatnya hidup di setiap akar yang mencoba tumbuh di tanah Papua. Ia meninggalkan pesan bahwa setiap guru yang berjuang di pelosok bukan hanya pengajar, tetapi penanam harapan di tanah yang kerap diterpa kekerasan.

Kini, tugas menanam itu harus dilanjutkan bersama. Masyarakat, pemerintah, dan aparat keamanan mesti bersatu untuk menumbuhkan kembali tiga hal yang sempat tercabut: kepercayaan, rasa aman, dan ruang bagi perempuan untuk mengabdi tanpa rasa takut. Karena di setiap perempuan yang mengajar, ada kehidupan yang sedang dipertahankan. Kehidupan yang menolak tunduk pada kekerasan. Jika ada satu hal yang pantas kita tuntut bersama sebagai bangsa, itu bukan sekadar hukuman bagi pelaku, melainkan pengakuan penuh atas korban, proses hukum yang jujur, dan perlindungan nyata bagi semua guru, terutama perempuan yang menyalakan obor pengetahuan di tempat-tempat yang paling gelap. Sebab, menjaga mereka berarti menjaga cahaya. Dan di tanah yang sering diselimuti kabut, cahaya itu adalah satu-satunya tanda bahwa masa depan masih mungkin tumbuh.* (gabriel maniagasi/tspp)
