KEBUTUHAN PENGUNGKAPAN KEBENARAN DAN REKONSILIASI BAGI MASYARAKAT PAPUA

Agenda utama sejumlah negara yang baru lepas dari rezim otoritarian dan sedang dalam proses transisi membangun negara demokratis adalah penyelesaian pelanggaran HAM yang dilakukan rezim masa lalu. Indonesia sebagaimana negara-negara di mana rezim yang sebelumnya berkuasa adalah rezim otoriter, kejahatan dan pelanggaran HAM yang sistematis merupakan salah satu karakteristik utama. Indonesia memiliki peluang melakukan proses transisi ini ketika Presiden Soeharto menyatakan mengundurkan diri pada 21 Mei 1998 akibat tekanan Gerakan Reformasi yang digerakkan oleh para mahasiswa dan sejumlah tokoh dan intelektual.

Stanley Adi Prasetyo. Foto: Dokumen Pribadi.

suaraperempuanpapua.com – PELANGGARAN hak asasi manusia (HAM) yang meluas dan sistematis umumnya menandai hancurnya politik dan landasan bernegara, rusaknya demokrasi dan lemahnya fungsi hukum. Upaya penyelidikan dan pemrosesan pelanggaran HAM berat di masa lalu mau tak mau adalah babak penting dalam proses transisi ke rezim baru. Hal ini bukan hanya penting untuk membantu korban pelanggaran, tapi juga untuk proses merekonstruksi kembali sistem politik dan hukum.

Kepercayaan rakyat kepada pemerintah dan penegak hukum hanya dapat dibangun jika rakyat melihat keseriusan keinginan politik pemerintahan yang baru dalam menegakkan hukum, menghapusan hak-hak khusus dari aparat negara, dan pengakuan atas terjadinya pelanggaran berat HAM di masa lalu. Keberhasilan penanganan kejahatan  masa lalu merupakan syarat bagi terciptanya masyarakat demokratis di masa depan.

Sebuah bangsa tak akan dapat hidup bersatu padu dalam damai di atas sejarah penuh luka dan kekerasan. Proses transisi menuju demokrasi harus berjalan di atas proses sejarah yang jujur dan bertanggungjawab. Pemerintahan yang baru harus menemukan jalan ke luar untuk menciptakan ulang ruang nasional yang damai  dan layak dihuni, membangun semangat dan upaya rekonsiliasi dengan para musuh masa lampau, dan mengurung kekejaman masa lampau dalam sangkar masa lampaunya sendiri.

Rezim baru dan tatanan demokrasi baru membutuhkan legitimasi sebagai dasar stabilitas politik. Pengadilan dinilai banyak praktisi legal sebagai hal yang penting untuk menunjukkan supremasi nilai-nilai dan norma-norma demokrasi agar kepercayaan rakyat dapat diraih. Jika kejahatan tak diselidiki dan diadili, maka tidak akan kepercayaan maupun norma demokrasi dalam masyarakat. Dengan demikian tidak akan ada konsolidasi demokrasi yang sesungguhnya.

Jalan Pengungkapan Kebenaran dan Rekonsiliasi

Konteks upaya pengungkapan kebenaran dan rekomnsiliasi melalui pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) di berbagai negara adalah sebuah konsep yang berkaitan erat dengan konsep keadilan transisional yang terkait pada transisi politik dari rezim otoritarianisme menuju era reformasi dan pro demokrasi yang berlandaskan the rule of law dan due process of law. Proses pembentukan KKR di rekomendasikan lewat Ketetapan MPR Republik Indonesia, tepatnya TAP MPR No. V/MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan, juga disebut secara eksplisit pula dalam UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia sebagai salah satu alternatif Penyelesaian HAM berat di masa lalu.

Dalam konteks Indonesia, sebagaimana dikutip dari Butir 3 TAP MPR Nomor V Tahun 2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan secara eksplisit menyatakan, “..Membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Nasional sebagai lembaga ekstra-yudisial yang jumlah anggota dan kriterianya ditetapkan dengan undang-undang. Komisi ini bertugas untuk menegakkan kebenaran dengan mengungkapkan penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran hak asasi manusia pada masa lampau..”, kemudian dalam Pasal 47 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, secara eksplisit menyatakan keberadan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang dibentuk melalui undang-undang.

Selain karena mandat dari berbagai peraturan perundang-undangan, kekuatan Undang-Undang yang lebih kuat dibanding Keputusan Presiden, berimplikasi pada independens , otoritas, kewenangan dan kekuatan institusi yang lebih kuat, hal ini juga bisa dilihat dari sisi historis, Komisi Nasional HAM berdasarkan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan Komisi Nasional HAM berdasarkan Keppres yang dibentuk Rezim Orde Baru pimpinan Presiden Soeharto. Jika ditinjau dari luasnya dan komplikasi proses menuju tujuan rekonsiliasi dari KKR, maka jalur pembentukan kembali yang paling tepat adalah melalui mekanisme Undang-Undang, sehingga memiliki mandat dan kedudukan yang lebih independen dan kokoh dalam menjalankan tugas fungsi dan tujuannya.

Kesulitan dan kekuatiran tidak bisa bekerjanya proses hukum formal dalam menangani kejahatan kemanusian masa lalu, menimbulkan dorongan akan perlunya mekanisme lain atau model penyelesaian alternatif. Mekanisme ini dikenal sebagai upaya penyelesaian masa lalu yang kemudian memunculkan ide tentang “Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi” (KKR). Model penyelesaian alternatif ini merupakan komplementer dari penyelesaian hukum, meskipun memiliki mekanisme dan hasil akhir yang bisa berbeda.  Berlandaskan TAP MPR No. V/MPR/2000 dan UU 26 Tahun 2000, pemerintahan Megawati Soekarnoputri mensahkan UU No. 27 Tahun 2004 tentang KKR pada 6 Oktober 2004.

Namun pada proses perjalanannya, sebelum Komisi KKR terbentuk dan mandat dari UU ini dapat dilaksanakan, UU ini dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi melalu PUU No. 6/PUU-IV/2006 setelah sejumlah aliansi masyarakat sipil mengajukan Judicial Review terhadap UU KKR karena dianggap bertentangan dengan UUD 1945.

Batalnya UU ini memiliki berbagai implikasi serius, antara lain pupusnya harapan pencari keadilan yang merupakan korban pelanggaran hak asasi manusia berat di masa lalu karena tertutupnya alternatif mereka selain pengadilan HAM ad-hoc dalam menemukan dan mendapatkan keadilan tertutup. Implikasi serius lainnya, terdapat kekosongan hukum dari Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi itu sendiri, hingga hari ini, dengan belum adanya tindak lanjut terhadap Putusan MK No. 006/PUU-IV/2006 dari pemerintah dan DPR adalah terhentinya agenda penyelesaian pelanggaran HAM berat di masa lalu di Papua yang menggantungkan mekanisme penyelesaiannya tidak dapat dipisahkan dari penyelesaian dalam level nasional yaitu KKR Nasional.

Pekerjaan KKR berkonsentrasi pada upaya penyelidikan kejahatan kemanusiaan di masa lampau dan tidak terpusat pada kasus tertentu, melainkan merupakan upaya untuk melukiskan seluruh pelanggaran HAM atau pelanggaran terhadap hukum humaniter internasional selama periode tertentu. Komisi ini umumnya  dibentuk untuk sementara waktu dan memperoleh beberapa jenis kewenangan yang jelas.

Ide KKR muncul berdasarkan pada kepercayaan bahwa rekonsiliasi antara pelaku dan korban pelanggaran HAM membutuhkan pengungkapan kebenaran terkait semua kejadian secara menyeluruh. Memberikan kesempatan kepada korban untuk bicara dan menerima penjelasan tentang kejadian-kejadian penting yang berhubungan dengan pelanggaran HAM di masa lalu adalah hal yang penting. Karena hal tersebut merupakan fondasi bagi terungkapnya kebenaran dan penegakkan keadilan.

Masalah ini sangat penting karena keadilan transisional lebih dari sekadar penanganan pelanggaran HAM kasus per kasus, melainkan merupakan dasar moral sebuah reformasi pemerintahan dan masyarakat yang menghormati martabat manusia melalui cara-cara yang demokratis, non-kekerasan dan sesuai dengan prinsip supremasi  hukum. Ini semua bertujuan agar kesalahan yang sama tidak terjadi lagi di masa yang akan datang.

KKR tidak bisa dan tidak boleh menggantikan fungsi pengadilan, karena mereka bukan badan peradilan, mereka juga bukan persidangan hukum, dan mereka tidak memiliki kekuasaan untuk mengirim seseorang ke penjara atau memvonis seseorang karena suatu kejahatan tertentu. Hanya saja, KKR dapat melakukan beberapa hal penting yang secara umum tidak dapat dicapai melalui proses penuntutan-persidangan di pengadilan pidana.

KKR juga dapat dipakai untuk mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan besar seperti; bagaimana sebuah pelanggaran HAM terjadi; kenapa itu terjadi dan faktor apakah yang terdapat dalam masyarakat dan negara kita yang memungkinkan kejadian tersebut terjadi; perubahan apa saja yang kita harus dilakukan untuk mencegah tindakan kekerasan dan pelanggaran HAM ini dari terulang kembali. Selain itu, ini juga dapat mendorong pendidikan publik melalui diterbitkannya suatu laporan atau catatan resmi pelanggaran-pelanggaran tersebut.

KKR juga dapat membantu terlaksananya semacam resolusi dengan mengakui penderitaan yang dialami korban, membuat pemetaan atas pengaruh dari kejahatan di masa lalu, dan merekomendasikan reparasi. KKR juga dapat merekomendasikan pembaharuan-pembaharuan tertentu di dalam institusi-institusi publik, seperti di dalam kepolisian dan pengadilan dengan tujuan mencegah terulangnya kembali pelanggaran hak asasi manusia.

. KKR dapat memilah antara persoalan pertanggung-jawaban dan mengungkapkan siapa pelaku-pelakunya Selain itu, KKR dapat mengurangi jumlah kebohongan yang beredar tanpa dibuktikan kebenerannya di depan publik. Dengan demikian proses pengungkapan kebenaran dan proses hukum sebagai kelanjutan serta reparasi para korban menjadi bagian penting dari sebuah jaminan agar peristiwa serupa tak lagi terulang di masa depan

KKR dari Sudut Pandang Alkitabiah

Ajaran Kristen merujuk pada prinsip-prinsip Alkitabiah mengajarkan tentang perlunya pengampunan, rekonsiliasi (pendamaian), keadilan restoratif, dan kebenaran. Jelas rekonsiliasi adalah nilai inti ajaran Kekristenan, bisa dilihat pada 2 Korintus 5:18-19 yang  menyatakan bahwa Allah telah mendamaikan manusia dengan diri-Nya melalui Kristus dan mempercayakan pelayanan pendamaian kepada umat percaya. KKR mencerminkan prinsip ini dengan memfasilitasi rekonsiliasi antara pelaku dan korban, bukan hanya melalui hukuman, tetapi juga pemulihan hubungan.

Adapun terkait pengampunan dan pertobatan, merujuk pada Matius 6:14-15, terlihat jelas pentingnya mengampuni sesama sebagai cerminan pengampunan Allah. KKR memberikan ruang bagi pelaku untuk mengakui kesalahan (seperti dalam pengadilan pengakuan) dan bagi korban untuk memilih mengampuni, meskipun tidak menghapus tanggungjawab hukum jika diperlukan.

Terkait dengan keadilan restoratif (bukan hanya retributif), dapat merujuk pada Mikha 6:8 yang mengajarkan tentang perlunya “berlaku adil, mencintai kesetiaan, dan hidup dengan rendah hati di hadapan Allah”. Keadilan dalam Alkitab tidak hanya tentang hukuman (retributif), tetapi juga pemulihan (restoratif). KKR berupaya memulihkan korban melalui reparasi dan rehabilitasi, bukan sekadar menghukum pelaku.

Selain itu, kebenaran juga merupakan fondasi rekonsiliasi. Yohanes 8:32 (“kebenaran akan memerdekakan kamu”) menunjukkan bahwa pengungkapan kebenaran adalah langkah penting menuju pemulihan. KKR bertujuan mengungkap fakta sejarah yang selama ini tersembunyi, sehingga masyarakat dapat belajar dari masa lalu dan mencegah pengulangan kekerasan.

Kasih dan rekonsiliasi jelas dibutuhkan dalam komunitas. Roma 12:18 (“hiduplah dalam perdamaian dengan semua orang!”) mendorong umat Kristen untuk aktif mendamaikan konflik.
KKR dapat menjadi sarana bagi gereja atau komunitas Kristen untuk terlibat dalam proses perdamaian nasional, seperti peran Desmond Tutu dalam KKR di Afrika Selatan.

Dari perspektif Kristen, KKR juga memiliki tantangan  untuk dapat dilaksanakan antara lain KKR harus mampu menyeimbangkan pengampunan dengan keadilan (Mazmur 85:10).  Selain itu sering KKR dihadapkan pada fakta bahwa tidak semua korban siap mengampuni, dan KKR tidak boleh memaksa rekonsiliasi tanpa pertobatan sungguh-sungguh dari pelaku (Lukas 17:3).

Jelas bahwa tujuan dan penyelesaian konflik berkepanjangan KKR sejalan dengan nilai-nilai Kristen yang mengutamakan kebenaran dan keadilan restoratif, memberi ruang bagi pengakuan kesalahan dan pertobatan, memfasilitasi terwujudnya rekonsiliasi tanpa mengabaikan tanggung jawab hukum. Dan yang paling penting adalah melibatkan peran gereja atau komunitas iman dalam proses perdamaian. Contohnya adalah adalah KKR Afrika Selatan pasca-apartheid yang dipimpin oleh Uskup Desmond Tutu, di mana prinsip pengampunan Kristen menjadi landasan moral bagi upaya perwujudan rekonsiliasi nasional.

KKR di Papua

Papua bukan bagian dari wilayah Indonesia Prokalasi 1945, Papua baru menjadi bagian Indonesia mealui proses Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada 1969 yang dilaksanakan oleh United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA) yang bertugas untuk mengelalola Iroian Barat sebelum diserahkan kepada Indonesia. Justru Pepera menjadi awal dari terjadinya serangkaian tindakan pelanggaran HAM kepada orang Papua. Berbagai operasi intelijen, militer, damn operasi teritorial yang terjadi di Papua mengakibatkan terjadinya pelanggaran HAM dan pelanggaran HAM berat yang menimpa masyarakat Papua. Berbagai model pelanggaran HAM dan kekerasan ini memicu munculnya perlawanan bersenjata dan niat untuk memerdekaan diri dari negara kesatuan Republik Indonesia.

Kepercayaan Orang Papua kepada pemerintah hingga saat ini sangat minim. Tak heran jika hampir semua kebijakan pembangunan di Papua ditanggapi dengan penolakan dan hal ini tentunya sangat menghambat usaha untuk membangun Papua, apalagi menyejahterakan Orang Papya.  Perubahan psikologi masyarakat sangat penting jika kita ingin membicarakan kesejahteran. Kesejahteraan bukanlah hal yang bersiafat materiil saja, tetapi psikologis juga hal yang utama. Presiden Gus Dur kemudian menawarkan Otonomi Khusus sebagai jalan tengah dan upaya rekonsiliasi Papua dan Indonesia, masyarakat Papua menerima.

Sebagai bagian dari penuntasan berbagai masalah di Papua muncul usulan tentang perlunya pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) untuk Papua.  Usulan pembentukan KKR muncul dari berbagai pigak saecara meluas. Antara lain dari kalangan tokoh masyarakat sipil Papua. Banyak aktivis HAM, tokoh agama, dan pemimpin adat Papua secara konsisten mengadvokasi pembentukan KKR sebagai mekanisme untuk mengungkap kebenaran tentang pelanggaran HAM masa lalu dan mendorong rekonsiliasi.  Jugainstitusi HAM nasional dan internasional juga mendorong pembentukan KKR di Papua sebagai langkah penting dalam proses perdamaian dan keadilan transisional.

Dukungan juga muncul dari Dewan Adat Papua, sebagai representasi dari masyarakat adat Papua, yang secara aktif mendorong pembentukan KKR. Pada saat itu, dukungan juga datang dari sejumlah  partai politik dan fraksi di DPR.  Meskipun tidak selalu secara eksplisit,  beberapa partai politik dan fraksi di DPR RI telah menunjukkan dukungan terhadap pembentukan KKR melalui pernyataan publik atau dukungan terhadap inisiatif terkait. Dengan demikian, usulan KKR Papua merupakan hasil dari advokasi dan tuntutan yang berkelanjutan dari berbagai aktor,  bukan hanya dari satu pihak saja.

KKR diusulkan untuk menyelidiki pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang terjadi di Papua di masa lalu. Usulan ini diakomodasi melalui pengesahan  UU No 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua pada 21 November 2001. Ide di balik Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) dalam UU No. 21 Tahun 2001 adalah untuk menangani pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang terjadi di Papua di masa lalu, serta mendorong perdamaian dan rekonsiliasi.

Pasal 46 UU No. 21 Tahun 2001 tersebut secara spesifik mencantumkan tujuan pembentukan KKR. Antara lain untuk melakukukan klarifikasi sejarah Papua, mengungkap kebenaran tentang peristiwa-peristiwa penting dalam sejarah Papua, yang seringkali melibatkan pelanggaran HAM.  Tujuannya adalah untuk menciptakan pemahaman bersama tentang masa lalu, bukan untuk menyalahkan pihak tertentu, tetapi untuk membangun landasan yang lebih solid untuk masa depan. Dengan mengungkap kebenaran dan mendorong rekonsiliasi, KKR diharapkan dapat memperkuat rasa persatuan dan kesatuan antara berbagai kelompok di Papua dan dengan pemerintah Indonesia.

Langkah Konkret Penyelesaian Damai

Tujuan pembentukan KKR tidak hanya untuk mengungkap kebenaran, tetapi juga untuk merumuskan langkah-langkah konkret untuk mencapai rekonsiliasi dan penyelesaian damai atas konflik yang terjadi di masa lalu.  Ini bisa termasuk mekanisme keadilan transisional seperti kompensasi bagi korban, rehabilitasi, dan pemulihan.

UU Otsus Papua Terbaru yaitu Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, tidak secara eksplisit membahas pembentukan KKR.  UU Otsus Papua Terbaru lebih f berfokus pada peningkatan kesejahteraan masyarakat Papua melalui berbagai program pembangunan, pemekaran daerah, dan peningkatan otonomi daerah.  Pembentukan KKR, yang merupakan proses yang kompleks dan membutuhkan waktu serta sumber daya yang signifikan, mungkin dianggap kurang prioritas dibandingkan tujuan-tujuan pembangunan yang lebih langsung dan terukur.

Mungkin ada  pertimbangan politik dimana pembentukan KKR merupakan isu yang sensitif secara politik, melibatkan penyelidikan atas pelanggaran HAM masa lalu yang dapat memicu kontroversi dan konflik.  Pemerintah mungkin memilih untuk menunda pembahasan KKR untuk menghindari potensi perpecahan dan konfrontasi politik.

Penyebab lain adalah kurangnya konsensus. Pembentukan KKR membutuhkan konsensus yang luas dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, masyarakat Papua, dan kelompok-kelompok kepentingan lainnya.  Hal ini ditambah kurangnya kesepakatan mengenai mandat, mekanisme kerja, dan kewenangan KKR dapat menghambat pembahasannya dalam revisi UU Otsus. Pemerintah pusat lebih meprioritaskan hal  yang berbeda dalam menangani isu-isu di Papua, dengan fokus pada pembangunan ekonomi dan infrastruktur sebagai langkah awal untuk menciptakan stabilitas dan perdamaian.

Untuk itulah diperlukan segera membuat jeda kemanusian melalui penghentian konflik dan memulai membuka ruang dialog secara luas dengan melipatkan berbagai unsur masyarakat. Para pihak yang berkonflik perlu memastikan jaminan dan perlindungan terhadap masyarakat sipil dari segala bentuk kekerasan.

STANLEY ADI PRASETYO. Penulis adalah wartawan senior, pemerhati Papua, pernah menjabat Ketua Dewan Pers 2026-2019 dan Wakil Ketua Komnas HAM 2007-2012.