suaraperempuanpapua.com – KISAH nyata mama Papua: anaknya meninggal saat mengungsi
Malam itu kami lari tanpa alas kaki
Sebuah kisah nyata dari pedalaman Papua Tengah.
Namaku Yohana Kogoya, umurku 32 tahun. Aku seorang mama Papua dari sebuah kampung kecil di Intan Jaya. Sebelum konflik datang, hidup kami sederhana tapi damai. Suami bertani, anak-anak ke sekolah, dan aku menenun noken sambil menjaga kebun.
Tapi semuanya berubah sejak pasukan berseragam datang ke kampung. Mereka bilang, “mereka datang mencari kelompok bersenjata,” tapi yang mereka temukan hanya kami—warga biasa yang sedang tanam ubi dan jagung.
Hari itu dimulai dengan helikopter dan suara tembakan
Pagi itu, suara helikopter berputar di atas kepala kami. Lalu terdengar tembakan. Anak-anakku berlari ke hutan. Aku gendong bayiku, dan hanya sempat menyambar noken isi makanan sebelum lari juga.
Kami tidak tahu siapa yang menembak siapa. Yang kami tahu, rumah tetangga terbakar. Ayah dari anak tetangga kena peluru dan meninggal. Kami mengungsi ke hutan selama berbulan-bulan, tidur beralaskan daun, makan apa adanya. Bayiku sakit dan demam—dan satu malam, dia tidak bangun lagi.
Saya mengubur anakku dengan tangan sendiri, tanpa upacara, tanpa tenda, hanya batu penanda.
Dari Kampung ke Kota, Jadi Pengungsi di Negeri Sendiri
Kami berjalan kaki ke kabupaten tetangga, berharap ada perlindungan. Tapi di sana kami dianggap “bermasalah”. Tidak semua orang mau menolong. Beberapa teman saya melahirkan di tenda darurat, tanpa bidan. Anak-anak tidak bisa sekolah. Trauma terus menghantui.
Saya bertanya kepada pemimpin: di mana kalian saat kami menderita?
Saya dengar gubernur baru sudah dilantik. Tapi kami tidak pernah lihat dia datang ke tempat pengungsian. Tidak pernah bertanya kabar kami. Tidak pernah bicara soal penderitaan kami di media.
Apakah dia tahu bahwa kami tidak minta perang? Kami cuma ingin tanam makan, hidup tenang, dan anak-anak kami bisa sekolah.
Saya tidak butuh banyak. Saya hanya ingin pemimpin yang melihat kami sebagai manusia. Bukan sebagai “masalah negara”.
“Kalau kalian punya kuasa, gunakan itu untuk lindungi kami. Jangan biarkan Papua hanya dikenal karena senjata, tapi juga karena keberanian pemimpinnya membela rakyat kecil,” Yohana Kogoya dalam kisah pengungsiannya.(*
MAMA YOHANA KOGOYA