ISTRIKU DIRACUNI

Theresia Wambey. Foto: Dokumentasi Keluarga

suaraperempuanpapua.com – THERESIA WAMBEY. Anak keenam dari enam bersaudara dari ayah, Edowardus Wambey dan Albertina Nanggen. Lahir di Jayapura, 27 Desember 1983.

Sejak usia kanak-kanak, ayahnya meninggal. Sehingga Theresia bersama kelima kakaknya hanya hidup bersama ibunya. Kakak sulungnya yang bernama Liborius Wambey telah meninggal lebih dulu, dan menyusul ayahnya meninggal.

Theresia menempuh pendidikan sekolah dasar hingga menyelesaikan SMP, lalu melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertanian Daerah (SPP SPMAD) Kampung Harapan Sentani, Jayapura. Setelah itu melanjutkan pendidikan tinggi di Sekolah Tinggi Pertanian Santo Thomas Aquinas Jayapura hingga lulus meraih gelar sarjana (S1) pertanian, tahun 2015.

Pada 2020 ada penerimaan pendamping distrik di Dinas Pertanian Provinsi Papua di Kantor Dinas Otonom Kotaraja, Jayapura. Lalu, saya bialng dia, “jika mau, silakan ikut mendaftar pendamping distrik di kantor dinas pertanian di provinsi. Nanti minta lokasi tugasnya di Distrik Woropko Kabupaten Boven Digoel. Karena Woropko dekat dengan kampung kami, Womsim”.

“Jadi kalau ada waktu libur atau hari Sabtu, mama bisa ke kampung tidur ikut sembayang hari Minggu, baru sorenya pulang ke Woropko. Jangan takut Boven Digoel. Di sana ada banyak saudara, mereka akan mendampingimu.”

Mendengar saran itu, dia pergi ikut seleksi dan lulus diterima menjadi pendampingi distrik. Tapi bukan di Distrik Woropko, Kabupaten Boven Digoel. Malah dapat tempat tugasnya di Distrik Ambay, Kabupayen Yapen. Ambay letaknya di kepuluan masih harus menyeberangi lautan dari kota Serui.

Setelah mendengar hasil seleksinya. Dia bilang, “bapa, saya lulus tapi dapat di Distrik Ambay di Serui, bukan di Woropko”. Saya jawab, “sudahlah pergi kerja saja, yang penting mama sudah lulus too?”

Sebelum pergi tugas di Ambay, Serui, selama lebih dari dua bulan, seluruh pendamping distrik Kabupaten Yapen, selalu mengadakan rapat persiapan, diskusi, pelatihan di rumah Koordinator Pendamping Kabupaten Yapen, Ice Monim di Doyo Baru Sentani maupun di hotel yang dilaksanakan oleh Dinas Pertanian Provinsi Papua.

Selama mengikuti persiapan di rumah koordinator pendamping Kabupaten Yapen, Ice Monim itulah, pada suatu hari Ice Monim memasak sayur sawi. Usai masak diisi dalam kom kemudian keluar memanggil Theresia yang sedang duduk diskusi dan mengerjakan tugas bersama teman-teman pendamping distrik lainnya di teras depan untuk masuk makan.

“Theresia, ko masuk dulu, makan sayur di dalam”, bisik Ice Monim di telinganya. Theresia pun masuk ke dalam rumah dan melihat sayur sawi sudah masak tersedia di atas meja makan. Ice Monim bilang, “itu ada sayur ko makan sudah”. Lalu Theresia bilang, “jangan saya sendiri. Di luar ada teman-teman. Jadi, bawa keluar sayur ini supaya kita makan sama-sama”. Tapi Ice Monim menolak dan mengatakan, “jangan sayur ini saya masak hanya untuk ko saja. Mereka yang di luar tra usah”.

Karena merasa kurang enak dengan tawaran Ice Monim, karena Ice adalah atasan Theresia sebagai koordinator pendamping Kabupaten Yapen. Maka, dengan berat hati, Theresia makan sayur sawi sampai habis. Karena sayurnya sedikit.

Usai makan, Theresia keluar ke teras depan rumah dan langsung jatuh pingsan tak sadarkan diri. Teman-temannya yang ada di situ semua panik dan bingung kenapa Theresia pingsan? Akhirnya, mereka cari minyak gosok kayu putih dan mengurut Theresia yang pingsan tak sadarkan diri selama lebih dari dua jam hingga sadar.

Saat keadaan pingsan itulah Ice Monim keluar dari dalam rumahnya berdiri depan pintu lalu berkata, “hei Theresia jangan ko mati di sini. Ko pulang mati di ko punya rumah”.

Setelah sadar dengan kondisi sangat lemah. Teman-teman pendamping cowok mengantar Theresia dari Doyo Baru pulang ke rumah di Kampung Harapan. Setibanya di rumah, dalam kondisi sangat kelelahan. Melihat itu, saya bilang, “mama istirahat sudah. Kamu cape sekali”.

Sejak itu, kondisi kesehatannya terus menurun sampai tidak bisa buang air besar. Sehingga harus konsumsi obat Dulcolax secara rutin agar bisa buang air besar, karena makan-minum lancar. Tapi tidak bisa buang air besar, bisa sampai seminggu atau lebih.

Theresia Wambey. Saat dirawat di Rumah Sakit Dian Harapan Waena, Jayapura. Menderita sakit akibat diberi makan sayur sawit bercampur racun oleh Ice Monim di Doyo Baru, Sentani Kabupaten Jayapura. Foto: Dokumentasi Keluarga.

Dalam keadaan sakit itu, Theresia bersama teman-teman pendamping distrik lainnya berangkat ke tempat tugas di Serui, Kabupaten Yapen. Theresia menginap di Serui, tapi paginya menyeberang laut kerja di Distrik Ambay di pulau.

Di Ambay, Theresia melakukan penyuluhan, membentuk kelompok dan mendampingi masyarakat kelompok nelayan membudidayakan rumput laut. Hasilnya, berkembang pesat dan kelompok binaan tani rumput laut mendapat juara satu, dengan mendapat hadiah uang sebesar 100 juta rupiah dari Kementerian Pertanian RI di Jakarta untuk pengembangan pembudidayaan rumput laut selanjutnya.

Sudah lebih dari setahun lamanya bekerja sebagai Pendamping Distrik Ambay di Kabupaten Yapen. Komunikasi kita lancar dan saya tidak pernah menanyakan tentang gajinya. Hanya menanyakan kondisi kesehatan dan kenyamanannya. Saya cuma berpesan, “kalau mama kerja dan hasilnya tidak jelas? Kau pulang saja jualan di pondok. Setiap hari mama bisa pegang uang, walupun itu hanya seribu-dua ribu. Yang penting mama bisa pegang uang setiap hari. Ada banyak orang yang tidak pernah pegang uang setiap hari”. Dia cuma jawab, “ya”.

Tapi pada suatu sore hari, dia menelepon saya dan menyatakan, ”bapa maaf. Selama ini saya tidak pernah kasih ko uang. Saya punya gaji tiap bulan sekitar 8 juta”.

Lalu saya jawab, “sayangku, peganglah uang hasil keringatmu sepuas hatimu. Silakan belanja barang yang selama ini mama inginkan tapi saya tidak pernah penuhi. Mama dulu hidup susah. Sekolah dari SD sampai lulus perguruan tinggi dengan susah payah tanpa uang dan makanpun susah. Hari ini mama kerja dan pegang uang hasil keringatmu. Rasakan bagaimana hidup susah dan sekolah susah sampai bisa kerja dan terima gaji setelah kerja.

Jadi mama harus nikmati. Itulah hasil dari perjuangan kerja keras. Saya tidak akan minta uang gajimu. Mama juga tahu selama ini saya tidak pernah minta uang ke mama. Karena saya tidak biasa minta uang kepada perempuan. Aku malu, termasuk gajimu.”

Tapi saya hanya berpesan, “mama jangan lupa. Ada kita punya anak tiga orang, ditambah keponakan. Mereka berempat sekolah di sekolah swasta dengan biaya sekolah tiap bulan mahal. Jadi kalau mama mau ingat? Silakan, kirim sedikit barang seribu-duaribu ke mereka empat punya nomor rekening? Kalau saya, jangan mama pikir. Saya sudah biasa hidup susah. Jadi sante saja. Yang penting ada makan-minum dalam rumah saja sudah aman”.

Diakhir pembiaraan, dengan nada bercanda saya katakan, “silakan mama cari laki-laki lain ke ujung dunia. Tidak akan pernah mama temukan laki-laki seperti aku. Yang ada hanya Paskalis,” dia diam saja mendengar suaraku di ujung telepon.

Waktu terus berjalan hingga memasuki 20 Desember 2022. Theresia meneleponku dan menyatakan, “bapa, saya sakit sekali. Tidak bisa jalan, tidak bisa masak makan. Rasanya mau mati saja”. Lalu saya jawab, “sayangku, pulang saja. Besok minta izin ke atasanmu. Bilang, saya pulang Jayapura berobat dulu, sembuh baru balik lagi. Saya beli tiket pesawat Serui Jayapura besok. Minta bantu teman-teman antar mama ke bandara Serui besok”. Dia jawab, “baik bapa”.

Keesokan harinya dia menelepon saya dan bilang, “bapa jangan beli tiket pesawat, kirim uang saja dan saya dengan teman-teman naik kapal laut. Kita semua mau pulang libur natal-tahun baru.” Lalu saya jawab, “silakan naik kapal, tapi beli tiket kelas supaya mama bisa istirahat nyaman.”

Seminggu kemudian, Theresia bersama teman-temannya tiba di pelabuhan laut Jayapura. Saya jemput pukul 12 malam dan tiba di rumah Kampung Harapan pukul 3.40 dini hari. Saya jemput dia di pelabuhan laut Jayapura dalam kondisi sangat payah.

Theresia tiba di Jayapura dari Serui tanggal 20 Desember 2022. Pada 24 Desember malam Natal, kita seisi rumah sudah siap mau ke gereja ikut Misa Malam Natal. Anak-anak semua sudah ke gereja. Tinggal kita berdua, sudah berpakaian rapi. Tapi sampai di pintu, Theresia bilang, “bapa, saya sudah tidak bisa tahan. Sakit sekali. Saya di rumah saja.” Lalu saya jawab, “silakan mama di dalam rumah saja. Saya ke gereja dulu.”

Sepulang gereja, saya dengar suara orang batuk setengah mati dari kejauhan 50 meter. Lalu saya bilang dalam hati, “ini orang siapa yang batuk menderita beginikah?” Setibanya di rumah, ternyata istriku yang batuk setengah mati dan tertelungkup di lantai. Malam itu juga saya mengantarnya opname di Rumah Sakit Dian Harapan Waena sejak Malam Natal 24 Desember 2022 sampai 28 Desember, dan dokter Rumah Sakit Dian Harapan Waena merujuk Theresia menjalani perawatan lanjutan ke Rumah Sakit Umum Dok 2 Jayapura.

Kita tidak bisa langsung ke RSUD Dok 2, karena saya juga harus opname masuk Rumah Sakit Dian Harapan pada 28 Desember 2022 sampai 7 Januari 2023. Terpaksa, kita dua baru ke RSUD Dok 2 Jayapura tanggal 9 Januari 2023.

Sampai di RSUD Dok 2, dokter bilang periksa HB, dan mulai besok datang menjalani program cuci darah dua kali seminggu, dengan biaya Rp 1.500.000 sekali cuci darah. Kalau dua sekali cuci darah? Berarti tiap minggu harus ada uang sekira 5 juta harus siap dalam sak celana. Kita dua pulang ke rumah dan berunding, lalu dia tanya, “bapa ini bagaimana?” Saya jawab, “kita jalani saja too? Yang penting mama sehat”.

Sejak 10 Januari 2023 sampai Jumat 11 Maret 2023 pukul 03.00 dini hari, saya selalu rutin dampingi dia berada di ruang cuci darah dan ruang rawat inap RSUD Dok 2 Jayapura. Periode itu kondisi kesehatan istriku terus menurun hingga harus dibopong dari mobil ke ruangan maupun dari ruangan ke mobil.

Setiap menjalani cuci darah, harus periksa HB. Jika HB rendah, harus opname transfusi darah merah dan darah putih serta mengurangi minum air bening. Maka setiap saat 5 kantong darah merah dan 4 kantong darah putih harus selalu siap. Artinya, saya harus mencari orang yang mau bersdia mendonorkan darah merah dan darah putihnya.

Mencari orang untuk donor darah merah dan darah putih serta biaya yang harus selalu siap tiap hari, itu perkara yang rumit. Sejak itu, saya selalu berada di ruang cuci darah mendampingi istriku, dan selalu saya berpikir, “selama ini saya biasa pikir, orang cuci darah itu hanya orang kaya saja. Bukan penyakit orang miskin,” ternyata pikiranku keliru. Cuci darah itu, bisa menimpa siapa saja, tak mengenal kaya atau miskin. “Sekarang aku yang setiap saat berada di ruang cuci darah mendampingi istriku. Tapi kapan semua ini akan berakhir?”

Saya juga biasa cerita dengan petugas medis di ruang cuci darah RSUD dan mencari informasi dari orang lain. Dari cerita-cerita itu, saya mengerti bahwa cuci darah itu hanya sekedar bertahan hidup atau sekedar menunda waktu. Jangan berharap sembuh permanen untuk berumur panjang.

Dalam kondisi sakit itu, kita berdua rutin ikut misa di gereja. Kalau kondisinya parah. Hanya saya sendiri dan anak-anak saja yang ke gereja. Pada suatu hari Minggu di minggu kedua, sebelum menghembuskan nafas terakhirnya, kita dua pergi ikut misa di gereja.

Dalam perjalanan pulang, istriku berkata padaku, “bapa, ternyata waktu ini berubah begitu cepat”. Saya diam saja memandang wajahnya dan memandang ke langit. Cuaca langit hari itu, cerah sekali. Tak ada awan yang menghalangi matahari menyinari bumi. Memandang langit biru di saat cuaca cerah, hati dan pikiran pun cerah.

Lalu saya jawab, ”ya, sayang. Waktu ini akan berubah terus. Tuhan yang atur itu semua. Kita jalani saja. Hidup ini, milik Tuhan”, sembari senyum memandang wajahnya. Lalu saya berpikir, “ternyata orang ini sedang berpikir”. Tak ada pernyataan serius yang muncul sembarangan. Hanya orang dalam kondisi berpikir serius dan merenung saja yang bisa memunculkan pertanyaan yang bersifat reflektif.

Waktu cuci darah berjalan terus hingga minggu terakhir sebelum memasuki tanggal 1 Maret 2023, kita dua sendiri duduk di pondok jualan, lalu meminta maaf dan Theresia cerita mengenai penyebab sakitnya. Saya hanya diam dan mendengar saja, lalu saya hanya menjawab:

“Selama ini, saya biasa bilang tooo….? Jangan sekali-kali makan di rumah orang lain, sekalipun itu di rumah teman karib? Kalo terpaksa mau makan? Harus makan bersama tuan rumah? Jangan makan sendiri? Kau sudah lihat sendiri tooo…..? Temanmu masak sayur sawi dan hanya memaksa kau sendiri yang makan? Dia tidak makan. Teman-temanmu banyak di situ mereka tidak dikasih makan? Masa kau makan sendiri?”

Dia hanya tertunduk diam. Tak ada sekatapun. Lalu saya pikir dalam hati, “ternyata gara-gara racun yang dikasih makan itu, ginjalnya rusak tidak berfungsi, dan hari  ini saya harus tiap hari sibuk berada di ruang cuci darah dan ruang opname rumah sakit. Saya hanya berharap Tuhan menawarkan racun ini”.

Waktu berjalan terus hingga hari Rabu minggu kedua sebelum tanggal 11 Maret 2023. Saya bangun pagi dan duduk bicara sendiri. “Tuhan, saya sudah tidak ada uang sedikitpun. Bagaimana saya bisa antar istriku pergi cuci darah di rumah sakit besok? dari mana uang sewa mobil? dari mana uang beli obat? Dari mana uang kalau opname lagi? Dari mana uang bayar orang donor darah merah dan darah putih? Saya tidak mungkin batal antar istriku cuci darah besok? Karena alpa sehari saja akan fatal kondisinya?” dalam keadaan bingung itu, pada siang harinya, melintas wajah dan nama temanku yang sudah lama kita tidak pernah bertemu. Saya juga pagi itu pikir dia, “anak ini de hilang kemana saja? trada kabar?”

Tiba-tiba siangnya dia telepon saya untuk kita bertemu cerita mati. Dengan senang hati, saya pergi bertemu teman di kantornya. Kita dua cerita takaruang ke sana-kemari mengenai berbagai hal. Di akhir cerita, dia kasih saya uang satu juta rupiah. Dalam hati saya senang sekali. Lumayan ada ongkos untuk besok hari Jumat saya bisa antar, mace cuci darah di Rumah Sakit Umum Dok 2 Jayapura.

Jenazah istriku, Theresia Wambey terbujur kaku di Ruang Jenazah Rumah Sakit Umum Daerah Dok 2 Jayapura, pada Jumat 11 Maret 2023. Foto: Dokumentasi Keluarga.

Pada Jumat 10 Maret 2023, dengan uang satu juta pemberian temanku itu, saya mengantar istriku berobat dan cuci darah di RSUD Dok 2 Jayapura hingga pulang pukul 6 sore, dan tiba di rumah pukul 8 delapan malam.

Setibanya di depan pintu rumah, Theresia bilang, “bapa, saya sudah tidak bisa tahan.” Saya bilang, “mama masuk duduk makan sedikit dulu, baru kita kembali ke rumah sakit lagi”. Malam itu juga saya menelepon dokter dan menyampaikan kondisi istriku. Lalu dokter jawab, “kalau begitu antar ibu kembali ke rumah sakit langsung ke ruang gawat darurat”.

Malam itu juga, saya mengantar Theresia kembali ke rumah sakit langsung di Ruang Unit Gawat Darurat dan ditangani medis yang bertugas malam itu dan menyuntikan obat penenang di dadanya, dan dia pun bisa tidur nyenyak.

Sejak masuk Rumah Sakit Dian Harapan Waena pada malam Natal 24 Desember 2022 hingga Jumat 10 Maret 2023 pukul 3 dini hari. Istriku selalu menyampaikan kata, “bapa, saya minta maaf. Selama ini saya selalu merepotkan bapa hanya urus saya.”

Lalu saya jawab, “sayang, saya akan berusaha untuk mama sembuh saja sudah cukup.” Saya menjaganya di Ruang UGD hingga pukul 3 dini hari. Saya lelah dan mengantuk sekali. Lalu saya bisik di telinga istriku, ”sayang, saya pulang istirahat sedikit di rumah dulu.” Lalu dia, jawab, “ya, bapa pulang istirahat dulu. Nanti besok pagi bapa datang lagi”.

Ternyata, itulah percakapan terakhirku dengan istriku yang aku sayangi selama 20 tahun sejak 2002 hingga 11 Maret 2023 pukul 3 dini hari. Saya pulang tidur dan pukul 6 pagi anak perempuanku yang kedua meneleponku dan bilang, “bapa datang cepat. Jangan lama-lama”.

Saya pun buru-buru dari rumah di Kampung Harapan ke Ruang UGD RSUD Dok 2 Jayapura, dan langsung memandang ke tempat tidur tempat istriku terbaring. Ternyata, tempat tidur telah kosong dan kasur pasien telah dirapikan. Lalu saya tanya petugas medis yang bertugas di ruangan pagi itu, “di mana pasien di tempat tidur ini?” Mereka jawab, “dia sudah pindah ruangan. Silakan bapa ke ruang jenazah”. Saya hanya spontan mengatakan, “wah…? Ini payah nih?”

Lalu saya bergegas ke ruang jenazah RSUD Dok 2 Jayapura. Aku memandang istriku telah terbaring kaku di tempat tidur pembaringan jenazah. Aku masuk memandang seluruh tubuh istriku mulai dari ujung rambut di kepala, wajah sampai ke ujung kuku jari kaki. Tak ada sepatahkatapun yang bisa aku ucapkan. Aku hanya menatap kosong orang-orang di sekitar tempat tidur istriku terbaring kaku dan seluruh ruang kamar jenazah. Pikiran dan hatiku kosong. Semua terhenti.

Setelah semua urusan di rumah sakit beres dan saya pamit serta minta terima kasih dan mohon maaf kepada petugas medis rumah sakit yang merawat istriku selama di RSUD Dok 2 Jayapura sejak 10 Januari hingga menghembuskan nafas terakhir pada Jumat 11 Maret 2023 pukul 6 pagi. Hanya Tuhan yang akan membalas seluruh kebaikkan selama merawat istriku di rumah sakit hingga Tuhan memanggilnya.

Setelah semua urusan di rumah sakit beres, saya membawa pulang jenazah istriku yang telah saya berusaha untuk menyembuhkannya sejak masuk Rumah Sakit Dian Harapan Waena pada Malam Natal 24 Desember 2022 hingga hari Jumat 11 Maret 2023 pukul 6 pagi ke rumah yang selama 20 tahun kita huni bersama anak-anak kami.

Tapi karena posisi rumah kami yang berada di belakang dan mengganggu mobilitas orang melayat, maka saya meminta maaf kepada istriku untuk menumpang menaruh jenazahnya di rumah kakak perempuanku yang berada di bagian depan yang halamannya luas.

Dan prosesi pemakaman istriku dilakukan pada hari Minggu, 13 Maret 2023 pukul 2.30 siang. Dalam acara peletakkan krans bunga, saya dan ketiga anak kami, diberi satu krans bunga untuk diletakkan di atas pusara orang yang paling kami cintai dan kami sayangi dalam hidup kami secara bersama.

Sebelum meletakkan krans bunga saya menarik nafas sedalam-dalamnya dan berucap dalam hati, “sayangku. Terima kasih. Kita telah hidup bersama selama 20 tahun. Dan hari ini, aku akan meletakkan krans bunga di atas pusaramu sebagai tanda perpisahan kita. Selamat jalan memasukki hidup baru yang abadi. Doakanlah kami yang hidup di dunia ini”. Setelah itu, saya dan ketiga anak kami meletakkan krans bunga di atas pusara orang tercinta yang akan kami ingat terus sepanjang hidup kami.

Sejak Jumat 11 Maret 2023 hingga hari ini, Selasa 10 September 2024, saya selalu mengenangnya dan berkata dalam pikiran dan hati, “sayangku, andaikan kau tidak makan racun itu. Kau masih ada di sisiku mendampingi aku dan anak-anak kami. Tapi kini kau telah pergi tinggalkan kami untuk selamanya dengan terpaksa penuh penyesalan. Waktu kematianmu belum tiba.”

Selama berobat di rumah sakit maupun di rumah, kau pernah memarahi Tuhan, “Tuhan saya selalu berdoa dan rutin minum obat. Kenapa saya tidak bisa sembuh? Apa salahku Tuhan?” Lalu saya pernah menegurmu, “jangan pernah marah dan salahkan Tuhan. Berdoa dan minum obat saja. Tuhan pasti mendengar doamu”. Kini kau telah berada di sisi Tuhan, yang pernah kau marahi.(*

paskalis keagop