Dua Bulan Pasca Banjir, Warga Kampung Peko Distrik Goyage, Kabupaten Tolikara Masih Menanti Bantuan

suaraperempuanpapua.com –Di tengah hiruk-pikuk publik di Provinsi Papua Pegunungan, tersimpan luka yang masih menganga. Warga Kampung Peko, Distrik Goyage, Kabupaten Tolikara, masih memunguti sisa-sisa kehidupan mereka setelah musibah banjir yang melanda kawasan itu pada 19 April 2025 lalu. Hujan deras yang turun tanpa henti kala itu menyebabkan banjir besar yang menghanyutkan harapan banyak keluarga.

Jejak Banjir Bandang yang tersisa akibat hujan deras pada 19 April 2025 lalu (foto;ist/tspp)

Kerusakan parah terjadi di berbagai titik: kebun-kebun buah merah milik warga luluh lantak, jalan-jalan kampung dan distrik rusak parah, jembatan Kali Goyage terputus, dan dua rumah warga dilaporkan hancur sehingga tak layak huni. Meski tidak ada korban jiwa, namun kerugian harta benda sangat signifikan, membuat sebagian warga kehilangan tempat tinggal dan harus mengungsi ke kampung-kampung terdekat untuk bertahan hidup.

Warga sedang mengungsi ke tempat yang aman (foto: ist/tspp)

Yendiles Africha Towolom, seorang intelektual asal Distrik Goyage, menyuarakan keprihatinannya atas lambannya respons pemerintah. “Sudah dua bulan lebih sejak kejadian, tetapi belum ada satu pun bentuk bantuan atau perhatian dari pemerintah distrik maupun kabupaten. Padahal informasi kejadian dan kerusakan telah disebarluaskan oleh warga, lengkap dengan dokumentasi foto,” ujarnya.

Tokoh Intelektual Asal Distrik Goyage, Yendiles Africha Towolom (foto:istimewa/tspp)

Hal serupa diungkapkan oleh Pdt. Lutan Kogoya, tokoh gereja GIDI di wilayah tersebut. “Kami sudah bersabar. Tetapi kondisi ini seperti dibiarkan begitu saja. Cuaca yang terus hujan membuat situasi makin buruk. Tanah terus bergerak, dan warga tak bisa kembali ke rumah mereka,” katanya.

Seorang warga menengok puing-puing rumahnya yang tersisa oleh sapuan banjir pada 19 April 2025 lalu (foto:ist/tspp)

Kondisi geografis Distrik Goyage yang terjal dan terpencil seolah menjadi alasan klasik keterlambatan bantuan. Namun, bagi warga yang kini tidur di rumah keluarga atau posko darurat seadanya, penantian ini menjadi luka batin tersendiri. Tidak hanya kehilangan harta, tetapi juga rasa aman dan keyakinan bahwa negara hadir untuk mereka.

Di tengah situasi darurat ini, suara warga Goyage bergema sebagai pengingat: bahwa di gunung nan tinggi, Papua Pegunungan, masih banyak warga yang berjuang sendirian menghadapi bencana, dan butuh lebih dari sekadar janji—mereka butuh aksi nyata.***(Gabriel Maniagasi)