Ada ribuan jenis kupukupu endemik Papua yang tidak kita ketahui. Kebanyakkan kita juga malas tahu dengan mengamati kupukupu, karena tak ada gunanya. Untuk mengetahuinya, Paskalis Keagop dan Eri Sutrisno dari Tabloid Suara Perempuan Papua menemui Bruder Henk van Masttrigt OFM, Penemu 5.000 Jenis Kupukupu Papua di Laboratorium Kupukupu miliknya di APO Jayapura, pada 27 April 2006. Dia seorang Biarawan Katolik, sekaligus Ahli Kupukupu dunia. Berikut uraiannya.

suaraperempuanpapua.com – HENK van Mastrigt. Lahir di Heerlen, pada 15 Januari 1946. Setelah menyelesaikan pendidikan sekolah dasar sampai perguruan tinggi di Belanda. Henk ditugaskan ke Indonesia sebagai seorang biarawan dari Ordo Fransiskan dan selanjutnya tiba di Jayapura Oktober 1974.
Di Jayapura Henk ditugaskan mengurus keuangan dan harta benda Keuskupan Jayapura sejak 1974 sampai 2002. Ia tidak hanya bekerja di sekitar kota Jayapura, tapi dalam pekerjaan pastoralnya, Bruder Henk juga kerap melakukan perjalanan ke pedalaman Papua yang menjadi wilayah kerja Keuskupan Jayapura.
Pada kesempatan itulah, Henk sering berjalan-jalan ke hutan di lingkungan sekitar dan mulai tertarik mengamati dan mengoleksi kupukupu berbagai jenis. Kupukupu pertama yang ia temukan tahun 1974 saat pertama kali tiba di Jayapura masih tersimpan dengan baik hingga kini.
“Sebelumnya saya tidak pernah tahu dan belajar tentang kupukupu. Latar belakang pendidikan saya ekonomi dan filsafat. Minat untuk mengoleksi kupukupu dan mencintai alam pada umumnya mulai tumbuh di Papua. Minat itu ditanamkan oleh ayah sejak saya masih kecil. Bapa saya, van Mastrigt, Everardus Gerardus Cornelis adalah amatir entomologis, yang biasa meneliti kupukupu. Sehingga sewaktu kecil saya sering ikut bapa,” ujar Bruder Henk yang sudah menjadi warga negara Indonesia sejak 6 September 1996.
Sejak 1974 sampai sekarang, Bruder Henk telah mengoleksi 5.000 jenis kupukupu dari berbagai wilayah di Papua. Dari jumlah itu, 1.000 jenis kupukupu siang dan 4.000 jenis kupukupu malam. Tugas rutin Bruder sejak datang ke Papua bekerja sebagai misionaris dan aktif meneliti kupukupu sebagai kegiatan sampingan.
“Tetapi setiap orang dimanapun di dunia ini yang ingin menulis buku tentang kupukupu harus saya ketahui.” Perhatian penelitian awal diberikan kepada genus Delias (Pieridae) yang menghasilkan sebelas karangan ilmiah mengenai genus.
Pada 1996 ia mulai melakukan pembinaan mahasiswa yang penelitian dan menyusun skripsi di bidang entomologi. Sejak 1996 sampai sekarang Bruder Henk terlibat aktif dalam pelbagai kegiatan penelitian yang dilakukan World Wide Fund (WWF), Conservation International (CI), Yayasan Pendidikan Lingkungan Hidup Cycloop (YPLHC), serta Universitas Cenderawasih Jayapura.
Beberapa penelitian entomologi penting di Papua yang diikuti Bruder, diantaranya: di Cagar Alam Pegunungan Wondiwoi (1997), di daerah Borme (1998), di Sombule (1999), di daerah Nipsan (2000), di Yongsu, Cagar Alam Cycloops (CI, 2000), di Dabra, Mamberamo (CI, 2000) di pulau-pulau Pantai Timur (2001), di Kepulauan Kumamba (2002), di daerah Pass Valley (1999, 2003), di Kepulauan Moor (2003), di Ubrub (2003), di Supiori (2004), di Marina Valen, Mamberamo (2004), di Fakfak (2005), di Pulau Numfor (2005), di Kwerba, Mamberamo-Foja (CI, 2005).
Bruder Henk van Masttrigt OFM, lahir di Heerlen (Belanda) pada 15 Januari 1946 dari Bapak: van Mastrigt, Everardus Gerardus Cornelis († 2 November 1980), dan Ibu: van Doorn, Anna Maria Theodora Lidwina († 1 Agustus 2005). Masuk Tarekat Fransiskan (OFM): 7 September 1966 di Weert (Belanda) Ucapkan kaul eriah: 12 September 1971 di Rotterdam, Belanda. Tiba di Indonesia: 6 April 1974. Tiba di Papua: 10 Oktober 1974. Menjadi Warga Negera R.I.: 6 September 1996 (berdasarkan srt B-412/Setkab /PNI/8/1996 tgl. 26 Agustus 1996).
Hasil-hasil penelitian mengenai kupukupu telah dipublikasikan dan tersimpan di museum-museum besar di Eropa: Inggris, Belanda, Prancis, Jerman, Jepang, Amerika dan di Indonesia. Buku-buku tentang kupukupu yang ditulis Bruder Henk telah terbit berjumlah 16 judul buku.
Futao adalah salah satu jurnal terbaru yang telah terbit di Jepang hari Senin 17 April 2006 lalu. Dalam jurnal itu, memuat enam jenis kupukupu baru yang ditemukannya di Puncak Gunung Foja.

Wilayah Mamberamo kaya dengan keanekaragaman hayati, sehingga rencana pembangunan listrik tenaga air dikhawatir mengancam hilangnya biota tersebut. Maka perlu ada perlindungan terhadap keanekaragaman hayati di Mamberamo. “Akhir 2005 lalu kami buat sourvey besar di Mamberamo dan Puncak Gunung Foja. Kita dirikan base camp di atas ketinggian 1.600 meter dari permukaan laut (dpl) di atas gunung itu.
Hutan Foja berlumpur dan basah. Di tempat itu tidak pernah dimasukki orang, termasuk penduduk setempat. Dalamnya lumpur 20 centimeter. Kaki tidak pernah kering. Selama sebulan lamanya di Mamberamo kaki basah terendam air. Saya senang karena banyak spesies baru yang kita temukan dalam waktu yang relatif singkat.
Belum pernah saya kumpulkan kupukupu banyak jenis di wilayah Lorens. Tapi di Mamberamo dalam sebulan saya berhasil kumpulkan 160 jenis kupukupu. Dari jumlah itu, 13 kupukupu diantaranya jenis baru yang tidak pernah saya temukan di tempat lain. Saat penelitian di Fakfak juga saya menemukan 147 jenis kupukupu.
Dulu saya tinggal di Bhayangkara, banyak kupukupu di sana. Tapi sekarang tidak ada. Hutan sudah hilang. Kupukupu yang dulu ada di Bhayangkara sekarang tidak ada. Kalau tidak hati-hati banyak spesies jenis baru di Mamberamo yang akan hilang. Saya menulis buku untuk mendorong banyak orang punya pengetahuan tentang kupukupu.
Manfaat kupukupu adalah kupukupu dan serangga sebagai penyerbuk tanaman, kupukupu menghasilkan sutera, serangga dan ulat pemakan organik, serangga pemakan gulma, serangga sebagai bahan penelitian. Ada empat manfaat dari kupukupu yang berguna dalam kehidupan manusia.
Yang merugikan: serangga perusak tanaman di lapangan, serangga pusat perusak bahan simpanan di gudang, kalau ada pohon jeruk yang daunnya dimakan habis oleh ulat akan tumbuh subur jika terdapat sinar matahari yang subur.
Sepuluh persen dari daun berarti sari dari akar yang mau ke daun 10 persen tersimpan dan bisa pergi ke daun. Kupukupu hidup diberbagai tempat, kita bisa menemukan kupukupu hidup di atas 3.000 meter dari permukaan laut. Setiap jenis kupukupu punya habitat yang berbeda.
Memang banyak orang yang bilang, “saya bukan seorang biarawan, tapi peneliti”. Karena masyarakat tidak mengerti dengan arti biarawan. Kami anggota Tarekat Fransiskan, dan pendiri Ordo Fransiskan bukan imam. Yang penting kita melaksanakan tugas apa saja, dan spritualitas Fransisikan nyata dalam cara pendekatan dengan orang lain, cara mendekti alam, cara hadir di tengah-tengah kehidupan umat, dan tidak terikat pada pelayanan gereja.
Paskalis Keagop, Eri Sutrisno
