WOMSIM MENUJU 50 TAHUN

Kampung Wombon dan Simiram digabung menjadi Womsim pada 1975, dan tahun 2025 ini memasukki usia 50 tahun yang akan dirayakan dengan Misa Kudus pada Minggu 28 Desember 2025 di Womsim.

SD YPPK Santo Yacobus Simiram di Womsim. Foto: Paskalis Keagop/suaraperempuanpapua.com

suaraperempuanpapua.com – SECARA geografis, wilayah Kampung Wombon dan Simiram (Womsim) terletak di tengah beberapa kampung lain di Distrik Woropko, Kabupaten Boven Digoel, Provinsi Papua Selatan. Sebelum 2002 Kampung Womsim dan Distrik Woropko masuk dalam wilayah Kabupaten Merauke. Womsim terletak di sebelah Barat Distrik Woropko.

Wilayah Womsim berbatasan dengan Kali Kao di sebelah Timur, sebelah Utara berbatasan dengan Kampung Anyumka dan Gunung Koreyom, sebelah Selatan berbatasan dengan Kampung Winiktit serta sebelah Barat berbatasan dengan Kampung Upyandit lama.

Womsim dihuni oleh 30 marga. Seluruh luas wilayah adat dari 30 marga adalah wilayah Womsim. Sebelum tahun 1960, ke-30 marga itu hidup di dusun masing–masing. Namun setelah kunjungan Pastor Petrus Hoeboer MSC dari Ninati ke wilayah: Kombrengga, Wombon Bitinbon, Kotremku, Anumyandit dan Jumkubun, kemudian disusul dengan kedatangan Pastor W. Putman MSC, bersama empat guru katekis asal Suku Muyu, masing–masing bernama: Anakletus Amok, Athanasius Koknak, Martinus Bunmop, dan Okmonggop.

Saat kedatangan Pastor Putman bersama empat guru katekis itu, ada 26 kampung asli di wilayah Womsim, namun hanya empat kampung saja yang mendapat guru. Masing–masing mendapat satu guru, yaitu Kampung Jumkubun, Anumyandit, Wombon Gelapem dan Kombrengga. Sementara kampung lainnya tidak mendapat guru.

Perahu menjadi satu–satunya sarana penyeberangan di Kali Kao bagi warga Womsim untuk bepergian ke kota. Foto: Paskalis Keagop/suaraperempuanpapua.com

Hal itu mendorong marga lain yang tidak mendapat guru secara perlahan bergabung dengan empat kampung terdekat yang ada guru. Tapi proses penggabungan 30 marga menjadi empat kampung itu tidak bertahan lama. Sebab pada 1960, atas kebijakan pemerintah dan Misi Gereja Katolik dibukalah dua kampung baru bernama Wombon dan Simiram.

Dengan dibukanya dua kampung itu, maka sebanyak 16 marga yang berada di wilayah utara bersatu di Wombon, dan 14 marga di wilayah Selatan bergabung di Simiram. Setelah membuka dua kampung itu, Misi Katolik pun membuka sekolah dasar enam kelas di Wombon dan Simiram. Tapi usia sekolah enam kelas itu tidak bertahan lama. Sebab, dari enam kelas itu, dua kelas dihapus dan hanya ada empat kelas.

Dengan berkurangnya kelas itu, maka murid SD Wombon dan SD Simiram hanya sekolah dari kelas satu sampai kelas empat, dan setelah naik kelas lima harus melanjutkan ke Woropko sampai lulus SD kelas enam dan meneruskan SMP ke Mindiptana atau ke kota lain.

Penerapan sistem sekolah dengan kelas pendek ini sangat merugikan anak–anak usia sekolah di Wombon dan Simiram menganggur. Banyak anak yang punya kemampuan intelektual baik dan punya kemauan untuk sekolah tidak bisa melanjutkan kelas lima dan enam ke Woropko, karena kesulitan biaya sekolah dan biaya asrama. Hanya anak yang orangtuanya mampu saja yang bisa melanjutkan kelas lima dan kelas enam SD di Woropko.

Melihat kondisi ini, Pastor Yohanes Ramaker MSC, guru–guru dan beberapa tokoh masyarakat Simiram dan Wombon menggagas dua kampung itu harus digabung menjadi satu kampung dengan membangun satu sekolah gabungan enam kelas agar semua anak usia sekolah di Wombon dan Simiram bisa sekolah tanpa diskriminasi mampu tak mampu dan anak laki–laki atau anak perempuan. Semua anak punya hak yang sama untuk mengenyam pendidikan.

Umat Katolik Stasi Cahaya Kristus Womsim, memikul patung Yesus dan patung Bunda Maria berjalan di tengah hutan dari Woropko ke Womsim.

Gagasan penggabungan SD Wombon dan Simiram menjadi satu, mendorong bergabungnya Kampung Wombon dan Simiram menjadi satu bernama Womsim pada 1975 dan tahun 2025 ini usia penggabungan dua kampung itu telah memasukki 50 tahun, yang akan dirayakan Misa Kudus pada Minggu 28 Desember 2025 di Womsim.

David Lingginop Barayap, warga Kampung Womsim yang ditemui di Merauke pada November 2025 lalu mengatakan kita punya kampung bergabung sudah 50 tahun, banyak anak dari kampung sudah berhasil jadi pegawai kerja di pemerintah di mana–mana. Tetapi kita punya kampung tetap di tengah hutan. Tidak ada jalan raya. Kampung lain itu, sudah enak, mereka kemana–mana pakai kendaraan mobil dan motor.

“Kalau kita ini masih hidup setengah mati. Ada Kabupaten Boven Digoel, tapi percuma saja. Mereka tidak pernah perhatikan kami. Nanti mau Pemilu baru, mereka datang bikin pusing kami cari suara. Setelah itu, mereka hilang lagi. Sekarang pemerintah sibuk bikin jalan raya di mana–mana.Tapi kampung kami tidak pernah diperhatikan. Kami selalu pikul barang dan jalan kaki di tengah hutan tiap hari”, ujar David dengan nada protes.(*

Sejak 1975 sampai 2025, Kampung Womsim/Wombon telah dipimpin oleh tujuh kepala kampung, yaitu: Aloysius Kumkit Wombon, Cosmas Getawop Mimguy, Antonius Bandim Galum, Kristoforus Kunoy Tominap, Yusup Waip Anumyandit, Wilhemus Manggayop Kotremku (penjabat kepala kampung), serta Anselmus Wengmo Barayap.

Paskalis Keagop (Boven Digoel)