SUARA PENGUNGSI : KAMI INGIN PULANG

YKKMP memberikan bantuan darurat (foto:ykkmp/tspp)

Bukan sekadar pulang ke rumah, melainkan pulang ke martabat sebagai manusia.

Suaraperempuanpapua.com—PAGI DI DISTRIK MELAGI pada 23 November 2025 itu terasa berbeda. Dari kejauhan, kabut tipis yang menggantung di lereng pegunungan seolah menyimpan kisah-kisah yang menunggu untuk diceritakan. Di bawah langit yang sendu, rombongan Yayasan Keadilan dan Keutuhan Manusia Papua (YKKMP) yang dipimpin Theo Hesegem tiba untuk mengunjungi warga Wunabunggu yang telah mengungsi sejak 5 Oktober 2025.

Kunjungan itu bukan sekadar agenda formal; ia seperti perjalanan menyusuri ihwal ketakutan, kehilangan, tetapi juga harapan yang masih tersisa.

Theo dan staf YKKMP disambut Jemaat Mbu di Gereja Baptis Wilayah Melagi. Suara nyanyian jemaat yang menggema memenuhi ruang ibadah yang selama hampir dua bulan terakhir dibiarkan kosong—tempat yang seharusnya menjadi rumah rohani, tetapi justru menjadi simbol trauma.

“Setelah kejadian itu, gereja kami tidak pernah terisi lagi,” kata seorang hamba Tuhan yang meminta agar namanya tidak disebutkan. “Kami takut kembali, dan sampai sekarang gereja masih kosong.”

Suara itu bukan sekadar keluhan; ia adalah jeritan komunitas yang terbelah oleh rasa aman yang retak.

Dalam kunjungan tersebut, Theo menjelaskan tujuan mereka: memeriksa perkembangan situasi pengungsi, termasuk kondisi keamanan setelah pemasangan baliho berisi Prinsip Hak-Hak Masyarakat Sipil menurut Hukum Humaniter Internasional (HHI).

YKKMP Bertemu pimpinan gereja dan masyarakat (foto:ykkmp/tspp)

Baliho itu, menurut warga, menghadirkan sedikit rasa bebas.

“Setelah baliho itu dipasang, kami merasa sedikit aman,” ujar sang hamba Tuhan. “TNI juga bilang kami bisa kembali ke kampung. Tapi kami belum bisa pulang kalau belum ada kesepakatan dengan pemerintah.”

Kesepakatan yang dimaksud bukan perkara kecil. Bagi warga, kepulangan bukan sekadar kembali ke rumah, tetapi kembali ke kehidupan yang utuh—dengan jaminan keamanan, keberlanjutan, dan perhatian pemerintah.

Selama mengungsi, warga juga menghadapi masalah paling dasar: makanan. Tanaman yang mereka tinggalkan dirusak babi hutan; ladang yang menjadi sumber hidup kini terbengkalai.

“Kami kekurangan makanan. Tanaman kami habis dirusak babi,” lanjutnya dengan nada lirih. “Kami minta pemerintah Lanny Jaya, DPRK, MRP, intelektual, dan gereja untuk bantu kami pulang ke kampung.”

Permintaan itu terdengar sederhana. Namun dalam konteks sosial-politik Pegunungan Tengah, ia menjadi seruan kemanusiaan yang mendesak.

Urusan Pengungsi Bukan Urusan Politik

Dalam kesempatan itu, Theo Hesegem menyampaikan refleksi tegas namun penuh empati.

“Kita tidak bisa membiarkan pengungsi tanpa kontrol,” katanya. “Pengembalian pengungsi harus dibahas bersama — pemerintah, gereja, tokoh masyarakat, intelektual, dan TNI/Polri.”

Theo menegaskan bahwa menangani pengungsian adalah kewajiban negara.
“Urusan pengungsi bukan urusan politik. Ini urusan kemanusiaan,” ujarnya.

Theo juga mempertanyakan absennya kepekaan pemerintah: “Apakah pemerintah tidak terganggu kalau rakyatnya cerai-berai dan gereja kosong tanpa ibadah?”

Pertanyaan itu menggantung lama di udara, seperti mengetuk nurani siapa pun yang mendengarnya.

Pada kunjungan itu YKKMP memberikan bantuan darurat. Tidak banyak, tetapi cukup untuk menguatkan hati para pengungsi bahwa mereka tidak sendiri. Para pendeta dan gembala menyampaikan terima kasih karena pemasangan baliho HHI telah membuka ruang aman bagi mereka.

Sebelumnya, pada kunjungan 25 Oktober dalam rangka investigasi dan pencarian jenazah korban, Danpos Satgas sempat menyampaikan, “Pengungsi kembali saja ke kampung beraktivitas.”

Namun bagi warga, kepulangan bukan keputusan sepihak. Ia harus berdasarkan kesepakatan menyeluruh agar tidak ada korban baru atau penangkapan yang tidak diinginkan.

Di akhir ibadah, Theo berbicara di hadapan jemaat. “Kita tidak mau ada korban susulan,” ujarnya pelan namun mantap. “Kesepakatan itu penting, termasuk rehabilitasi rumah yang dibakar dan tanaman yang rusak.”

Suasana dalam gedung gereja (foto:ykkmp/tspp)

Theo menutup dengan janji moral yang sederhana tetapi penuh makna:
“Kalau sudah ada kesepakatan, kami akan antarkan kalian kembali ke kampung untuk beraktivitas dengan bebas tanpa rasa takut.”

Di Melagi, hari itu berakhir seperti bagaimana ia dimulai: sunyi, tetapi dengan harapan yang menggeliat perlahan. Pengungsi Wunabunggu masih menanti kepulangan. Bukan sekadar pulang ke rumah, melainkan pulang ke martabat mereka sebagai manusia.* (Gabriel Maniagasi/tspp)