
Suaraperempuanpapua.com—Suara ombak di Teluk Wondama menyentuh karang-karang tua yang seolah masih menyimpan gema sejarah. Di atas sebuah batu di Bukit Aitumeiri, terukir kata-kata yang tak lekang dimakan waktu. “Di atas batu ini saya meletakkan peradaban orang Papua…”
Kalimat itu ditulis seratus tahun lalu (25 Oktober 1925) oleh seorang guru dan rohaniwan dari Belanda, Dominee Izaak Samuel Kijne. Sosok yang datang jauh dari Tanah Eropa, bukan untuk mencari kemegahan, tetapi untuk menanamkan iman dan peradaban.
sekarang, batu itu bukan sekadar prasasti. Ia telah menjadi saksi dari perjalanan panjang bangsa Papua menuju kebangkitan intelektual dan spiritualnya.
Sosok I.S.Kijne lahir pada 1 Mei 1899 di Vlaardingen, Belanda. Ia bukan anak bangsawan, bukan pula keturunan orang kaya. Ayahnya hanyalah seorang tukang kayu, dan dari tangan ayahnya itu ia belajar makna kerja keras serta ketulusan.
Sejak muda, Kijne telah menunjukkan keinginan untuk menjadi guru dan pembelajar sejati. Ia belajar bahasa Melayu, menekuni dunia seni di Jerman, dan mendalami ilmu pendidikan. Namun panggilan hidupnya tidak berlabuh di tanah kelahirannya yang makmur. Ia justru memilih perjalanan panjang menuju sebuah tanah asing di ujung Pasifik— Nieuw Guinea (Sekarang Tanah Papua), yang kala itu masih terbungkus misteri dan keterpencilan.

Tahun 1923, Kijne tiba di Tanah Papua sebagai utusan zending dari Gereja Belanda. Di bawah langit biru Mansinam, ia memulai pelayanan dengan langkah sederhana mendirikan Sekolah Guru Rakyat.
Sekolah itu kemudian ia pindahkan ke Bukit Aitumeiri, Miei, Teluk Wondama. Di sana, anak-anak dari berbagai suku datang dengan kaki telanjang, membawa papan tulis kecil dan hati yang penuh semangat. Di bawah rindangnya pohon dan nyanyian burung, Kijne mengajarkan mereka membaca, menulis, dan berpikir — tapi lebih dari itu, ia mengajarkan harga diri.
“Kijne tidak hanya membangun sekolah, tapi membangun manusia,” kata seorang pendeta tua di Wondama. “Ia menyalakan api kepercayaan diri bagi anak-anak Papua.”
Dan benar, dari Aitumeiri-lah lahir generasi pertama guru, pelayan, dan pemimpin Papua yang kelak menjadi pelopor kepemimpinan baik dalam gereja, pemerintahan dan masyarakat termasuk pelopor pendidikan di tanah ini.

Pada tanggal 25 Oktober 1925, Kijne menulis kalimat yang kini dikenal sebagai Batu Peradaban. Di sana ia meletakkan fondasi moral dan intelektual bagi masa depan Papua.
“Sekalipun orang memiliki kepandaian tinggi (dari Barat), namun tidak dapat memimpin bangsa ini. Bangsa ini akan bangkit dan memimpin dirinya sendiri.”
Kalimat ini adalah nubuatan — bukan tentang kemerdekaan politik semata, tetapi kemerdekaan berpikir dan beriman. Ia meyakini bahwa kebangkitan sejati bangsa Papua hanya mungkin terjadi bila pendidikan dan spiritualitas berjalan beriringan.
Kijne dikenal bukan hanya sebagai pendidik, tetapi juga seniman dan teolog yang mencintai budaya Papua. Ia menulis lagu-lagu rohani dalam bahasa lokal seperti Mazmur ma Ranu dan Mazmur ma Dow, agar iman bisa dinyanyikan dalam rasa Papua sendiri. Ia juga menyusun Tata Gereja yang menjadi dasar bagi Gereja Kristen Injili (GKI) di Tanah Papua. Dalam teologi dan pelayanannya, Kijne tidak pernah meniadakan budaya lokal. Ia merangkulnya sebagai bagian dari kasih Kristus yang universal.

Saat Perang Dunia II meletus, Kijne ditawan dan diasingkan ke Balige, Sumatra. Namun perang tidak mampu memadamkan cintanya kepada Papua. Begitu perang usai, ia kembali, membangun ulang sekolah dan gereja yang hancur. Ia mengajar, menulis, menyanyi, dan tetap menanam kasih, seolah waktu tak pernah membuatnya lelah. Hingga akhirnya, pada 11 Maret 1970, Dominee I.S. Kijne berpulang di Belanda. Tapi bagi Papua, ia tak pernah benar-benar pergi. Ia ada dan hidup dalam hati dan jiwa orang papua.
Kini, seratus tahun sejak kedatangannya, nama Kijne hidup dalam setiap sekolah, kampus, dan gereja di Tanah Papua. Dari Teluk Wondama hingga Jayapura, dari Fakfak hingga Merauke, ia dikenang bukan sebagai orang Belanda, tetapi sebagai “guru bangsa Papua.”
Setiap kali anak Papua berdiri di depan kelas sebagai guru, atau memimpin doa di mimbar gereja, jejak langkah Kijne terasa hadir. Ia telah menanamkan sesuatu yang jauh lebih berharga daripada bangunan atau institusi. Ia menanam keyakinan bahwa manusia Papua mampu berdiri dan memimpin dirinya sendiri.

Batu Aitumeri tak lagi sekadar prasasti tua. Ia adalah buku terbuka bagi generasi Papua modern. Buku tentang cinta kasih, pengorbanan, dan pendidikan sebagai jalan menuju martabat.
Dominee Kijne telah tiada, tapi di atas batu peradaban itu, cinta kasih yang ditorehkannya, masih menyala. Cinta Kasih yang membuat peradaban ini terus hidup, tumbuh, dan memberi terang bagi dunia. Kijne telah menabur benih kepercayaan, ketulusan, kekuatan dan semangat kepercayaan diri yang luar biasa dalam kesederhanaan tanpa pamrih. Ada pengharapan bahwa “Di atas satu alas yang kuat dan teguh Berdirilah Gereja di Tengah Dunia.
Kini, 26 Oktober 2025 GKI Di Tanah Papua telah berusia 69 tahun sebagai gereja mandiri, sebagai buah pelayanan zending Belanda. GKI Di Tanah Papua berdiri secara mandiri sebagai sebuah gereja otonom merupakan kenangan riil peninggalan Dominee I.S. Kijne yang ditinggalkan bagi kebangkitan spiritualitas dan iman Bangsa Papua untuk berdiri teguh di atas Kasih Kristus di tengah dunia yang semakin penuh tantangan.

Sekarang, GKI Di Tanah Papua tidak lagi berhadapan dengan tantangan kekafiran seperti 200 tahun lalu (Ketika Tanah ini terbuka bagi Firman), tetapi hari ini gereja ini diperhadapkan dengan tantangan besar : “Etika dan Moral”. Kiranya simbol “batu peradaban” tidak lagi menjadi “batu sandungan” dalam menatap 100 tahun yang akan datang, karena tantangan etika dan moral adalah tantangan hebat dalam peradaban modern yang mulai hidup tanpa mengandalkan iman, pengharapan, dan kasih. Selamat merayakan Hari Ulang Tahun ke 69 GKI Di Tanah Papua.* (gabriel maniagasi/tspp)
