SETIAP ORANG DISAMBUTNYA PELUKAN HANGAT DENGAN HATI DAMAI

suaraperempuanpapua.com – FRANS LIESHOUT. Lahir di Montfoort, Belanda, 15 Januari 1935. Anak ketujuh dari 11 bersaudara. Ayahnya, orang yang cukup dihormati dan disegani di kota Montfoort. Ayahnya  pendiri sebuah sekolah menengah pertanian bagi anak-anak di Montfoort.

Sekolah itu masih berjalan. Siswanya berasal dari berbagai kota dan negara. “Dalam sejumlah kesempatan, sekolah tersebut turut membantu beasiswa bagi anak-anak Balim yang sedang studi di Jayapura”, ujar Markus Haluk, yang pernah berkunjung ke Montfoort.

Pada masa kecil, Frans bersama keluarganya mengalami dampak Perang Dunia ke-2 yang pecah pada 1940 – 1945. Jerman menduduki Belanda, Belgia dan beberapa negara di wilayah Eropa. Situasi ekonomi Belanda dan Uni Eropa waktu itu mengalami krisis. Banyak orang menjadi korban perang.

Hampir seluruh wilayah Montfoort dibom oleh Pasukan AU Kanada ke-2 (RCAF), AU ke-2 Taktis Nomor 183 Group -143, yang saat itu masuk dalam pasukan sekutu yang dipimpin AS. Selama pemboman terbesar pada 20 Januari 1945, sebanyak 186 pasukan tewas.

Pastor Frans Lieshout OFM, saat memberikan sakramen pembatisan kepada seorang bayi di Wamena.

“Waku itu kami alami kelaparan. Musim dingin menyelimuti Eropa. Kami keluarga mengalami situasi sulit. Syukur waktu itu AS membantu kami. Mereka dengan pesawat menjatuhkan makanan dari atas udara. Kami coba mengumpulkan bantuan makanan yang jatuh di tanah”, kenang Pastor Frans Lieshout.

Jumlah penduduk kota Montfoort per-2019 lalu berjumlah 3.076 jiwa. Ada tiga pemuda Montfoort yang menjadi orang hebat dan mengabdi di Papua sejak usia muda hingga usia lanjut. Yaitu: Uskup Herman Munninghoof OFM., Pastor Frans Lieshout OFM, dan Pastor Theo Vergeer OFM.

Masa kecil hingga remaja dihabiskannya di Montfoort sembari mengenyam pendidikan. Dimulai dengan: sekolah dasar, sekolah menengah/Gynasium, dan masuk Anggota Persaudaraan Fransiskan (OFM) pada 1955. Kemudian mengikuti Pendidikan Filsafat dan Teologi pada 1956 hingga lulus 1962, dan langsung ditahbiskan menjadi imam.

Frans Lieshout, senang ditunjuk untuk misi di Nederlands Nieuw Guinea, bukan ditugaskan ke Pakistan misalnya. Diapun berangkat ke Indonesia, dan dengan menumpang penerbangan KLM yang terakhir mendarat di Hollandia, pada 18 April 1963.

Pada hari mendaratnya, Nederlands Nieuw Guinea, kini Papua sudah bukan lagi milik Belanda, tetapi sudah milik Indonesia. Pasukan Belanda sudah tinggalkan Papua, dan Indonesia mengambilalih Papua, pada 1 Mei 1963.

Presiden Indonesia, Soekarno, datang ke Hollandia sekira dua atau tiga hari sesudah pengambilalihan Papua. “Soekarno berdiri di atas kapal perang, paling kemuka, di geladak depan”, ujar Pastor yang menyaksikan langsung hari itu.

Pada tahun pertama, Frans tinggal di Jayapura. Dipersiapkan untuk bertugas di Lembah Balim, bagian Papua yang belum dapat dikembangkan. Pada 1964, dia ke Lembah Balim. “Hampir tidak ada orang bule, hanya segelintir saja. Saya bukan yang pertama, tetapi pada zaman itu betul-betul zaman pembukaan wilayah-wilayah baru”, kenang Frans.

Selama bertugas sebagai misionaris di Wamena, Pastor Frans Lieshout selalu berjalan kaki setiap hari selama satu jam ke rumah-rumah warga belajar bahasa. Dan setiap pos pastor mempunyai klinik mini yang tiap pagi hari melayani umat yang sakit, dengan hanya andalkan obat penisilin dapat dilakukan mukjizat.

“Kami juga membangun sekolah-sekolah kecil, memelihara rumah kami dan kebun. Dan kami ikutserta dalam semua acara. Acara itu banyak sekali: kematian, perkawinan, inisiasi, kesuburan, pembukaan kebun baru atau rumah baru. Segala-galanya disertai tata cara ritual dan kami mengunjungi semua. Tidaklah sulit bagi kami untuk mengisi waktu. Dan kami selalu membaca banyak”, jelasnya.

Pastor Frans Lieshout tugas di Wamena selama 25 tahun, 9 bulan. Dan kecintaannya pada Papua membuat ia pun memutuskan menjadi warga Negara Indonesia, pada 1986. Ia telah menjalani panggilan Tuhan sebagai Imam bertugas di Keuskupan Jayapura selama 56 tahun. Dimulai 1963 hingga 2019.

“Selama bertugas di Papua, Pastor Frans menjadi guru, gembala, dokter, antropolog, budayawan, bapa, tete rohani dan pastor bagi ribuan orang. Setiap orang disambutnya pelukan hangat dengan hati damai. Banyak orang Papua khususnya dari pedalaman berhasil atas jasa Pastor Frans”, ujar Markus Haluk, yang menjadi anak angkat Lieshout sejak masuk SMA Gabungan Jayapura hingga lulus Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi Fajar Timur Abepura.

Setelah pensiun pada Januari 2007, Lieshout pulang kampung ke Wamena menikmati masa pensiun dan masa tuanya dengan menulis buku-buku dibantu tenaga pastoral di Wamena hingga Oktober 2019.

Pastor Frans Lieshout OFM, ingin menetap di Wamena, tapi usianya sudah amat lanjut dan kondisi penyakit kanker yang dideritanya semakin buruk. Dia tidak mau merepotkan seorangpun. Sehingga, ia tinggalkan Wamena balik ke Jayapura pada 17 Oktober 2019. Dan pada 28 Oktober, ia tinggalkan Papua pulang ke Belanda. “Penyakit itu hanyalah salah satu faktor untuk keberangkatanku”, ujar Frans Lieshout.

Di Belanda, Pastor Frans tinggal di sebuah biara-kota di Amsterdam Barat. “Saya sangat terharu, walaupun cuaca dingin dan hujan. Sekarang saya kurang lebih 15.000 kilo meter jauh dari Papua, tetapi terasa tetap dekat dan bagian dari hidupku”, tulis Pastor Frans dalam pesan WhatsApp-nya kepada Markus Haluk di Papua.

Selama dua minggu, dia tinggal bersama keluarganya di Montfoort, dan 14 November 2019 pindah ke Biara OFM di Amsterdam Barat. Pada 3 Januari 2020, Pastor masuk rumah sakit dan dioperasi. “Operasi sudah berhasil dan saya sudah keluar dari rumah sakit sebelum hari ulang tahun saya ke-85 pada 15 Januari 2020”, ujar Frans.

Pastor Frans Lieshout OFM, saat bertugas di Keuskupan Jayapura.

Pada 28 Januari, dia mengirim kabar bahwa kankernya cukup aktif tetapi dokter menyampaikan bahwa, “dirimu bisa diperpanjang lagi dengan obat yang baru seharga 500 Euro (7.500.000) perbulan”. Pada 14 Februari, Frans Lieshout menyampaikan Ucapan Selamat Valintine Day untuk Papua.

“Selamat Valintine Day. Semua bangsa Papua menerima berkat dari umat manusia di dunia ini”. Pada 18 Februari, Pastor menyampaikan bahwa ternyata obat yang baru tidak membantu memperpanjang hidupnya. Akhirnya pada 1 Mei 2020, Bas, salah satu keponakannya mengirim pesan: “Markus, Elpius dan semua umat di Papua, yang terkasih. Saya punya berita sedih. Pastor Frans baru meninggal dunia”.

Pastor Frans Lieshout OFM, dipanggil pulang dengan tenang oleh Allah Bapa di Surga pada Jumat, 1 Mei 2020 pukul 13.15 siang waktu Belanda dalam usia 85 tahun. Kabar kepergiannya menyebar sampai ke tempat ia menghabiskan masa hidupnya selama 56 di Tanah Nederlands Nieuw Guinea. Kepulangannya meninggalkan duka yang mendalam bagi sanak-saudara dan para sahabatnya.

Riwayat Pelayanan Pastor Frans Lieshout, OFM., di Papua: 1963 – 2019:

  1. Tiba di Nederlands Nieuw Guinea, 18 April 1963.
  2. Masa Penyesuaian di Waris, April – Juli 1963.
  3. Sekretaris 2 Keuskupan Jayapura, Agustus 1963 – April 1964.
  4. Pastor Paroki Musatfak Balim, Wamena, April 1964 – Mei 1967.
  5. Pastor Paroki Bilogay, Mei 1967 – Juli 1973.
  6. Rektor SPG Taruna Bakti Waena, Juli 1973 – Agustus 1983.
  7. Pastor Koordinator 3 Paroki Kota (Katedral, APO, dan Argapura), Agustus 1983 – Oktober 1985.
  8. Pastor Dekan Dekenat Jayawijaya, Oktober 1985 – Agustus 1996.
  9. Agustus 1996 – Agustus 2002. Pastor Paroki Katedral Jayapura, merangkap:
  10. Pastor Dekan Dekenat Jayapura
  11. Dosen Liturgi STFT Fajar Timur Abepura.
  12. Pastor Paroki Biak, Agustus 2002 – Januari 2007.
  13. Pensiun, Januari 2007.
  14. Menikmati masa pensiun dan hari tua di Wamena, Januari 2007 – Oktober 2019.
  15. Tinggalkan Wamena balik ke Jayapura, 17 Oktober 2019.
  16. Tinggalkan Papua pulang ke Negeri Belanda, 28 Oktober 2019.

Paskalis Keagop