Pastor Frans Lieshout OFM, bertugas di Keuskupan Jayapura selama 56 tahun. Sebagian besar waktunya dihabiskan di Lembah Balim Wamena, selama 25 tahun, sembilan bulan. Ia mengenal banyak orang dan sebagian dari hasil didikannya menjadi orang-orang besar di Papua hari ini.

suaraperempuanpapua.com – FRANS Lieshout, masuk ke Lembah Balim Wamena, pada 1964. Tugasnya di sana tidak hanya sebagai imam mengabarkan Injil. Tapi juga berperan sebagai guru, dokter, antropolog, tukang bangunan, orangtua asuh dan bahkan aparat pemerintahan.
Lembah Balim adalah bagian Papua yang belum dapat dikembangkan. Lembah yang terletak dalam pegunungan yang tak terhampiri itu, baru ditemukan dari dalam pesawat terbang pada 1938. Akan makan waktu sampai 1956 sebelum di situ pos pemerintahan Belanda didirikan.
Setelah pensiun, Pastor Frans Lieshout pulang ke Belanda dan menceriterakan pengalamannya selama tugas di Lembah Balim kepada media massa yang mewawancarinya di Amsterdam.
“Hampir tidak ada orang bule, hanya segelintir saja. Saya bukan yang pertama, tetapi pada zaman itu betul-betul zaman pembukaan wilayah-wilayah baru. Sampai sekarang lembahnya hanya dapat dicapai dengan naik pesawat. Kenyataan inipun membuat tahun-tahun pertama di sana cukup sulit. Sebab, misi belum mempunyai pesawat sendiri. Bahkan yang kecilpun belum.
Satu-satunya pesawat yang kadang-kadang datang, yaitu pesawat pemerintah yang bertujuan membekali para pegawai. Kami hanya diperbolehkan menitip beberapa kilo saja. Itu memang masalah.
Saat itu, rumah pun tidaklah tersedia bagi orang-orang baru yang mulai bertugas di Lembah Balim. Pemondokan kami yang pertama, kami sendiri yang membangunnya. Dibuat dari kayu bulat dan paku-paku sejauh tersedia, paku kayu yang panjang. Rumahnya terdiri dari dinding gelagah dan atap gabagaba.
Setiap hari selama satu jam, kami belajar bahasa. Dan setiap pos pastor mempunyai klinik mini dimana pagi hari kami melayani pasien yang menderita berbagai penyakit dengan penisilin, yang menyembuhkan adalah mujizat.
Kami juga membangun sekolah-sekolah kecil, memelihara rumah kami dan kebun. Dan kami ikutserta dalam semua acara. Acara itu banyak sekali: kematian, perkawinan, inisiasi, kesuburan, pembukaan kebun baru atau rumah baru. Segala-galanya disertai tata cara ritual dan kami mengunjungi semua. Kami mengisi waktu dengan selalu membaca banyak.
Kami pergi ke kampung-kampung yang belum pernah muncul satu orang Barat pun atau didatangi orang luar, termasuk pekerjaan rutin kami. Kunjungan rutin ini, rupa-rupanya sulit, tetapi sebenarnya paling gampang.
Penduduk kampung-kampung sangat suka menerima tamu. Selamat datang, silakan duduk, ambillah rokok, lalu mulailah percakapan dengan sendirinya. Mereka menceriterakan kisah-kisah mereka. Kemudian menyusullah kisah kami.
Saya semakin terkesan mendengar apa yang diceritakan orang kampung. Mereka sudah mengetahui semuanya tentang membangun rumah, tentang membuka kebun. Dalam Lembah ini, telah dibangun sebuah masyarakat yang sudah bertahan tak kurang dari berabad-abad lamanya. Mereka sama sekali tidak memerlukan kami.
Saya menulis buku tentang budaya Lembah Balim dengan bermaksud mendekati budaya mereka secara positif. Orang Papua dipandang sebagai penyembah berhala. Mereka dipandang sebagai orang kafir. Tetapi jika menggali baik-baik, kita temukan gagasan-gagasan yang amat bagus.
Di zaman dahulu, pertanyaan yang selalu diajukan yaitu berapa jiwa sudah kau menangkan bagi Tuhan? Berapa orang telah kau pertobatkan? Berapa orang yang kau buat berubah pikirannya? Tetapi bukan demikianlah karya misi! Ketika saya diutus, visi tentang karya misi sudah bukan begitu lagi.
Saya tidak mau menggurui orang dengan mengatakan bagaimana mereka harus hidup atau apa yang mesti mereka tinggalkan. Saya datang dengan pikiran terbuka.
Dalam adat-istiadat lokal, saya menemukan gagasan indah, bahkan prinsip-prinsip biblis. Dalam ritus penyucian yang saya lihat dalam kampung tempat dia berada terlihat kombinasi dari pembaptisan, pengakuan dosa, dan ekaristi. Saya berada di kampung itu ketika seluruh penduduknya bersiap-siap untuk mengadakan seremoni.
Mereka menuju tepi sungai, dimana mereka membuat deretan panjang. Seorang pria masuk ke dalam air setinggi lutut, berbalik lalu mengatakan bahwa ia pernah berhubungan asmara dengan wanita yang bersuami dan pernah mencuri seekor babi.
Kemudian ia mencuci siku dan lututnya. Orang kedua pun masuk ke dalam air, dan akhirnya semua masuk dan satu-persatu mereka menyatakan kesalahannya. Mereka mengaku dosa bersama: ‘Kami telah melanggar aturan’. Dan sesudah itu ada pesta. Tak seorangpun marah. Tiada perkara lagi. Sudah selesai. Hebat itu”!
Markus Haluk, salah seorang anak didik Pastor Frans Lieshout mengatakan setiap orang disambutnya pelukan hangat dengan hati damai. Banyak orang dari pedalaman yang telah dibesarkan dan dibantu sampai berhasil atas jasa Pastor Frans.
Karena itu, ketika Pastor Frans Lieshout meninggal di Belanda pada 1 Mei 2020, banyak kesaksian yang disampaikan oleh mereka yang mengenal baik dan dekat dengan Pastor Frans. Tapi hanya kesaksian lima orang yang dimuat di sini.

Fransiska Abugau
Anggota Majelis Rakyat Papua
Waktu itu, mama saya tidak bisa melahirkan saya. Nyawa saya atau mama saya menjadi taruhannya. Namun, Tete Pastor membantu persalinannya. Syukur saya dilahirkan dengan selamat. Ketika saya datang sekolah di SPG Taruna Bakti Waena, bertemu lagi dengan Bapak Pastor “yang melahirkan saya”.
John Mirin
Tokoh Terdidik Pertama Suku Dauga
Saya dengan teman-teman diangkut dengan Pesawat Pilatus. Kami semua ada 10 anak. Jumlah ini sangat melebihi. Pastor Frans antar kami dari Bilogay ke Kokonau. Saat pilot menyampaikan laporan kepada petugas menara bandara bahwa ia sedang membawa 11 orang, termasuk Pastor Frans. Petugas bandara menjawab “apakah Anda membawa mereka dengan Twin Other? Jumlah itu sangat melebihi dan tidak diizinkan”. Tetapi, itu yang dilakukan Pastor Frans untuk selamatkan masa depan kami generasi muda Papua.
Umeki Kelly Kwalik
Alumni SPG Taruna Bakti Waena
Saya selesai tamat SPG Taruna Bakti Waena, bertemu dan meminta berkat kepada Pastor Frans. Sebab saat itu, dia menjadi Rektor dan saya anggap sebagai orangtua. Waktu itu saya menyampaikan Bapa, saya menjadi guru dan gembala bagi tanah air Papua dari rimba raya. November 2008.
Rudolf Deca
Umat Katolik yang Dinikahkan
Saat kami datang dari Jakarta ke Irian Jaya, banyak hal kami pikir dan khawatir. Calon istri saya datang dari belakang juga. Syukur kami bertemu Pastor Frans, kami diteguhkan. Bapak Pastor Frans menikahkan kami di Gereja Katedral Dok 5 Jayapura. 1999.
Elpius Hugy
Tokoh Muda Katolik Lembah Balim
Orangtua meninggal saat masih SMP YPPK St. Thomas Wamena. Bapa saya seorang kepala suku besar di kampung kami. Ia mendirikan Gereja Katolik di Samenage, pada April 1991. Pastor Frans Lieshout hadir meresmikan dan telah membaptis ratusan umat. Saat orangtua meninggal, waktu itu Bapa Pastor Frans sampaikan, “Elpius, Bapa sudah berpulang, tapi Bapa Frans masih hidup. Saya Bapamu”. Jakarta, Maret 2020.
Paskalis Keagop
