Pada 18 Maret 2012 lalu, Ordo Santo Fransiskan merayakan 75 Tahun mengabdi di Tanah Papua. Mereka berkarya di bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, sosial dan budaya.

suaraperempuanpapua.com – ORDO Fransiskan (OFM) mengawali karyanya di Tanah Papua pada 18 Maret 1937 dan terus berkarya hingga kini di seluruh pelosok Tanah Papua. Pada 18 Maret 2012 lalu, Ordo yang meneladani hidup Santo Fransiskus dari Asisi ini merayakan Tahun Jubelium atau 75 tahun usia pelayanan di Tanah Papua.
Perayaan 75 Tahun itu dipusatkan di Aula Seminari Menengah Santo Fransiskus Asisi – Taruna Bakti Waena, Jayapura, dengan tema perayaan ”Syukur Atas Rahmat Asal-usul 75 Tahun OFM di Papua”. Mereka yang tergabung dalam OFM dan mengabdi di Tanah Papua tidak hanya para misionaris asal Indonesia, tetapi juga para misionaris asing.
Perayaan Ekaristi 75 Tahun OFM dilaksanakan di Waena, Jayapura dihadiri seluruh Ordo Fransiskan dan para tamu undangan dari Srilanka, Thailand, Atambua dan Timor Leste.
Misa dipimpin langsung Uskup Jayapura Mgr. Leo Laba Ladjar OFM, dan didampingi Uskup Agung Bogor Mgr. Michael Cosmas Angkur OFM dan Uskup Agats Mgr. Alloysius Murwito OFM. Juba kebesaran pengikut Santo Fransiskus Asisi–berwarna coklat, bertali kasut putih melingkari pinggang, mewarnai suasana perayaan Jubelium 75 Tahun OFM di Tanah Papua.
Sebelum misa, beberapa pelaku sejarah para misionaris asing maupun domestik yang dulu datang ke Tanah Papua memberikan kesaksian misi mereka dalam mengabarkan Injil Yesus Kristus–yang diwujudkan melalui karya-karya nyata di berbagai bidang pada banyak wilayah, seperti pendidikan melalui Yayasan Pendidikan dan Persekolahan Katolik, bidang kesehatan, ekonomi, sosial dan budaya.
Uskup Jayapura Mgr. Leo Laba Ladjar OFM dalam kotbahnya mengatakan misionaris diutus sebagai manusia beriman, bukan malaikat. Mereka berangkat ke Papua dengan diselimuti rasa ragu, kekurangan, dan ketidakmampuan. Tetapi sebagai manusia mereka berangkat karena diutus untuk mewartakan Injil. Meskipun banyak ditemui kegagalan, namun inti dari semua itu merupakan proses dari sebuah misi yang mulia. Ada hasil yang bisa kita rasakan.

“Setiap karya pasti ada kekurangan dan kelebihan. Makin dalam kita menyadari bahwa kita tidak mampu, serahkanlah segala ketidakmampuan itu kepada Allah. Maka Allah akan memberi kemampuan itu kepada kita. Siapa yang memandang Dia sebagai penyelamat, maka akan ada keselamatan, kesejahteraan dan kesehatan dari–Nya”.
Dalam perayaan misa itu, dua uskup dan tiga pastor OFM memberikan kesaksian mereka selama berkarya di Tanah Papua. Berikut kesaksiannya.
Uskup Agats Mgr. Alloysius Murwito OFM.
PERTAMA kali datang ke Papua menggunakan kapal laut. Dikirim ke Lembah Balim. Bertugas di sana selama empat bulan. Pada 1976 ditugaskan ke Enarotali. Pengalaman menyenangkan dirasakan, turut membawa keinginan saya menjadi anggota OFM. Niat itu disampaikan kepada Uskup Jayapura Mgr. Herman Monningoff OFM.
Uskup menerima panggilan itu dan saya masuk pra calon frater atau novisiat pada 1977. Setelah itu kembali ke Yogyakarta dan ditahbiskan menjadi imam. Kemudian kembali lagi ke Papua melayani umat di Deiyai. Partisipasi umat luar biasa. Hari-hari dalam tugas terasa begitu menyenangkan.
Saya pernah mengikuti kuliah di STFT Fajar Timur Abepura dan harus hidup bersama dengan sejumlah teman mahasiswa Papua dalam asrama. Saya merasa hal itu sebagai sangat berat dan tidak enak. Saya memandang dan menilai mereka seperti kebanyakan orang Jawa.
Pada suatu ketika saya menyadari bahwa sayalah yang harus berubah, bahwa saya harus menanggalkan arogansi kultural saya. Setelah itu hidup bersama dengan mereka menjadi lebih enak dan saya belajar banyak dari mereka.

Menanggalkan arogansi kultural berarti: tidak menganggap diri dan kebudayaan saya sendiri sebagai yang paling baik, membuka diri bagi orang Papua serta kebudayaannya dan bersedia untuk belajar dari mereka. Integrasi antara dua kelompok merupakan suatu proses yang melibatkan kedua belah pihak yang saling menerima dan memberi.
Selama 10 tahun terakhir ini, orang Papua sudah banyak belajar dari Indonesia, tetapi sebaliknya Indonesia dan banyak pendatang sepertinya enggan untuk mau belajar sesuatu dari Papua. Tidak ada pendatang yang sungguh-sungguh berusaha untuk mengenal Tanah Papua, manusia, bahasa, budaya dan biasanya seseorang tidak dapat mencintai apa yang ia tidak kenal.
Dalam program-program pembangunan sering kurang diperhatikan dan dihargai kearifan lokal seakan-akan Papua harus menjadi kopi dari daerah-daerah lain di Indonesia tanpa suatu warna lokal Papua.
Anak Papua yang sering dinilai sebagai anak nakal akan menjadi nakal bilamana ia tidak merasa dan mengalami bahwa ia dilihat, diakui, dihormati dan dihargai seperti maksud oleh bapak Tom Beanal. Menanggalkan arogansi kultural dan menerima orang lain sebagai saudara dengan sepenuh hati. Itu tidak mudah, namun sangat perlu untuk dapat mencapai suatu integrasi yang sungguh-sungguh dan yang memperkaya kedua belah pihak.
Uskup Agung Bogor Mgr. Michael Cosmas Angkur, OFM.
TIM misionaris mendatangkan dua anggota Fransiskan dari Provinsi Indonesia (waktu itu masih Vikaria). Mereka adalah Pater Michael Angkur, OFM dan Bruder Inno Kedang, OFM. Mereka diutus ke Papua dalam kerangka program penukaran tenaga antara Provinsi Fransiskan Indonesia dan Provinsi Fransiskan Belanda, khususnya persaudaraan OFM di Papua. Bruder Inno menggantikan Bruder Eddy van Daal OFM sebagai pengurus asrama dan gudang, sedangkan Pater Michael, OFM dipercayakan menjadi pelayan di wilayah Welesi, Hepuba dan Pelebaga.

Berkat kerjasama dan dengan belajar dari pastor-pastor yang sudah berpengalaman, saya dibantu untuk mengenal keadaan wilayah itu dalam waktu singkat. Hubungan baik dengan seluruh lapisan masyarakat merupakan modal bagi suatu perkembangan di masa berikutnya.
Hidup di antara mereka, makan dari makanan mereka, tidur dalam rumah-rumah mereka ikut menyetuh rakyat kecil. Pater Michael sungguh terjun dalam kehidupan masyarakat dengan perhatian dan cinta yang besar dan oleh karena itu, ia dicintai oleh mereka. (Maka tidak mengherankan bahwa Pater Michael kemudian berurut-turut menjadi:Ketua DPRD tingkat II Jayawijaya pada Desember 1970 dengan tetap merangkap tugas sebagai Pastor paroki Hepuba; anggota DPRD tingkat I Provinsi Irianjaya, pimpinan Vikariat dan Provinsi Fransiskan Indonesia,1979-1994).
Situasi di Irian Jaya pada waktu itu tidak menggembirakan. Pepera diselengarakan pada 2 Mei 1969, dan masyarakat di beberapa daerah mengadakan pemberontakan seperti di daerah Paniai. Pater Michael ditugaskan di Paniai untuk menetralisir suasana dan untuk mengusahakan supaya sejumlah milik Gereja Katolik yang dirampas oleh pihak militer Indonesia dikembalikan.
Mengenai situasi politik waktu itu, Pater Michael menulis: suasana politik dipertajam oleh keadaan ekonomi Indonesia yang semrawut, terutama di Irianjaya. Sejak 1963 rakyat menyaksikan hal yang aneh-aneh. Pemerintah (Sekretariat Irian Barat) rupanya kurang berhasil mengatasi korupsi. Ekonomi Papua sangat parah.Tetapi begitu banyak barang dibawa keluar dari Papua. Keadaan ini diperkuat lagi dengan tindakan kekerasan, pemerasan dan lain-lain.
Saudara-saudara misionaris Belanda makin dibatasi ruang geraknya dan mereka dianggap sebagai antek-antek OPM. Di daerah Balim tidak terjadi suatu pemberontakan pada waktu itu, namun suasana umum di masyarakat terasa tertekan.
Pater Michael merefleksikan karya Gereja diberbagai bidang pelayana oleh para misionaris asing sejak awal kedatangan mereka di Balim. Melalui sebuah refleksinya, segala cara telah ditempuh untuk mencoba membawa sesuatu bagi masyarakat.
Semua itu merupakan suatu proses lewat meraba-raba dan mencari; anggota Vikaria telah mengambil bagian dalam semua kegiatan tersebut. Kendatipun ada kegagalan namun semua usaha baik para misionaris pertama telah memberikan suatu dasar bagi perkembangan masyarakat.
Pastor Yan Zerd OFM.
PERTAMA kali berangkat ke Enarotali, penyesuasian bahasa, lingkungan harus dipelajari. Misi di Enarotali adalah membuka sekolah dasar. Sekolah dasar pertama dibuka di daerah Mappia, sekarang Kabupaten Dogiay. Beberapa tahun kemudian, atas perintah Uskup Jayapura Mgr. Herman Monningoff OFM. dipindahkan ke Epouto untuk membuka sekolah formal dan non-formal pada 1977–1978.
Dan saya diminta untuk pindah ke Epouto. Sempat saya acungkan pertanyaan kepada Uskup, ”Uskup, apa yang saya lakukan di sana”? Uskup menjawab, ”Kau buat apa saja” begitu jawabnya. Di Epouto kami buka sekolah formal dan non-formal.

Dua bulan kemudian, dari Epouto saya dipindah lagi ke Moenamani pada 1980-di sana saya mengajar. Satu hal yang sangat terkesan bagi saya. Saya senang karena anak didik saya ada yang jadi guru dan kembali mengajar di sekolah itu.
Pengabdian dan pewartaan Injil di daerah pedalaman benar-benar menjadikan dirinya hamba Tuhan dalam perwartaannya. Saat ini Pastor Yan Zerd, OFM. tinggal di Biara OFM Sentani dan mendidik Saudara Muda (calon pastor) di Sentani.
Pastor Berth OFM.
WILAYAH pewartaan di daerah Pegunungan Bintang. Mengikuti sebuah peta pelayanan yang dibuat bersama Pastor Huts melayani di Abmisibil, Iwur, Okbibab dan sekitarnya. Program pelayanan disesuaikan dengan kebutuhan umat, diantaranya di bidang ekonomi, pendidikan dan kesehatan. Melayani umat sekaligus menjadi perawat sewaktu mantri Darius tidak berada di tempat.
Pastor Berth mengganti mengobati orang yang sakit. Semua tugas itu dilalui dengan penuh rasa cinta akan melayani, meskipun terkadang harus berjalan kaki dari kampung satu ke kampung yang lain. Pelayanan merupakan “ladang” untuk mewartakan karya keselamatan bagi umat. Beranjaknya waktu, maka kitapun harus siap mengalami perkembangan ekonomi, pendidikan dan kesehatan.
Di awal-awal tahun 1970-an, memang untuk tenaga guru, perawat sangat kurang, berkat kerjasama misionaris, biarawati KSFL yang waktu itu kerja mereka di bidang kesehatan, bagaimana menjaga kesehatan. Dan juga pelayanan misionaris dibantu oleh guru-guru katekis dari daerah Selatan Merauke.
Dari masa ke masa, terus mengalami perkembangan diberbagai bidang seperti ekonomi, pendidikan dan sosial. Tak bisa kita hindari dan diharuskan bisa mengikuti perubahan-perubahan itu. Sejarah tidak hanya bisa diceritakan, tetapi diabadikan melalui foto. Foto sebagai dokumentasi yang sangat penting untuk menggambarkan keadaan zaman, di masa dulu dan masa kini.
Pastor Frans Lieshout OFM.
PASTOR Frans Leshout, OFM. berkenalan dengan orang Balim pertama kali pada 1964–1967. Pada pertengahan 1985 Uskup Jayapura Mgr. Herman Munninghoff, OFM. minta kesediaan saya, yang waktu itu menjabat Dekan Dekanat Jayapura untuk menjadi Dekan di Jayawijaya dan memimpin karya Gereja di Lembah Balim: 1985–1996.
Walaupun saya melihat permintaan itu sebagai suatu tantangan, sekaligus juga sebagai kehormatan besar, namun sebenarnya saya sudah mulai mempertimbangkan untuk kembali ke Nederland. Karena pada usia 50 tahun kemungkinan untuk berkarya di bidang pastoral di sana. Tetapi cinta pada Tanah dan Umat Papua mendorong saya untuk menerima tawaran Uskup, maka saya menjawab dengan senang hati saya akan pergi ke Lembah Balim.

Karena itulah rupanya panggilanku dan saya akan bertugas kembali di daerah tersebut sesuai kemampuan saya. Tetapi hal itu bahwa saya tidak akan bisa kembali dan bekerja di Nederland.
Waktu itu Fransiskan punya ambisi untuk ke Balim. Dengan motivasi memperluas ladang Tuhan dan semangat pelayanan bagi sesama. Selain di Balim, saya juga bertugas di Bilogai (Suku Moni), Jayapura dan Biak sebagai Pastor Paroki, Rektor Sekolah Pendidikan Guru dan Dekenat Jayapura. Pada 2007 kembali ke Lembah Balim, pulang kampung untuk menikmati masa pensiun sambil menulis buku.
Dengan banyaknya pemekaran kabupaten dan mereka sangat merindukan para misionaris dari Indonesia untuk mewartakan Injil, sebab mereka sangat membutuhkan itu. Dengan beranjaknya waktu, tidak harus terus dengan misionaris dari luar.
Pada 1985, menjadi warga negara Indonesia. Pastor Frans Lieshout menulis buku Sejarah Gereja Katolik di Lebah Balim-Papua. Pada 12 Februari 2012, telah diresmikan monumen Agama Katolik masuk ke Lembah Balim. Monumen ini, bukan hanya untuk menghormati jasa para misionaris, tetapi juga untuk menghormati para leluhur dan orangtua Balim.
Alfonsa Wayap, Paskalis Keagop
