
Menggenggam map orange bertuliskan YUDISIUM bukanlah perjuangan yang mudah. Butuh banyak hal seperti semangat, ketahanan mental dan dukungan.
Suaraperempuanpapua.com — DI TENGAH gemuruh tepuk tangan yang menggema di Aula Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Cenderawasih, 16 Oktober 2025, seorang perempuan muda berdiri sambil menggenggam map orange bertuliskan YUDISIUM erat-erat. Air mata mengalir di pipinya. Ia satu dari 152 mahasiswa yang akhirnya resmi menjadi sarjana pada periode IV tahun akademik 2025/2026. “Mama pasti bangga,” katanya lirih, mengenang perjalanan panjangnya menembus batas antara keterbatasan dan harapan.
Bagi anak perempuan ini dan rekan-rekannya, map orange bertuliskan YUDISIUM yang mereka genggam bukan sekadar simbol akademik. Itu adalah hasil dari tahun-tahun panjang perjuangan belajar di bawah lampu minyak saat listrik padam, mencari sinyal di bukit untuk mengirim tugas, hingga bekerja paruh waktu demi biaya kuliah. Di tanah Papua, dan di FISIP Uncen, setiap gelar akademik adalah kisah perjuangan kemanusiaan dan kisah itu menemukan maknanya.
Dekan FISIP, Marlina Flassy, S.Sos., M.Hum., Ph.D (yang akrab disapa “Mama Dekan” ) memahami setiap kisah di balik map orange itu. Dalam sambutannya, ia berkata pelan namun tegas, “Keberhasilan ini diperoleh melalui perjuangan dan kerja keras menghadapi segala situasi, baik suka maupun duka.” Ucapannya disambut anggukan dan senyum yang menahan haru.

Sebanyak 152 mahasiswa dari delapan program studi yang dilepas hari itu, bukan hanya lulusan. Mereka adalah bagian dari perjalanan panjang universitas tertua di tanah Papua dalam mencetak generasi yang berpikir kritis dan berjiwa sosial. Marlina pun mengingatkan agar mereka menjaga nama baik almamater. “Ada banyak alumni FISIP yang telah berbakti dari tanah Papua hingga kedutaan besar di luar negeri. Kalian harus jadi bagian dari mereka,” ujarnya dengan penuh kebanggaan.
Kini, FISIP Uncen berdiri tegak dengan 100 tenaga dosen, tujuh di antaranya bergelar profesor dan 29 bergelar doktor. Di ruang-ruang kuliah di Kampus Abepura dan Kampus Waena, para dosen tak sekadar mengajar teori, tetapi menanamkan karakter yang mengasah empati dan kesadaran sosial. “Tanah Papua sudah ada dalam era keterbukaan,” ujar Marlina. “Kita harus siap berkompetisi dan berkolaborasi di tengah dunia yang terus berubah.”
Namun, tidak semua mahasiswa dapat berdiri di aula hari itu. Ada yang tertinggal karena sakit, ada yang terhenti karena beban biaya. “Mereka tetap bagian dari keluarga besar FISIP,” kata Marlina lirih. “Kami akan cari jalan agar mereka bisa kembali melanjutkan langkah.” Kalimat itu mengalir lembut namun menyentuh; mengingatkan bahwa pendidikan bukan sekadar tentang capaian akademik, tetapi tentang keadilan dan kesempatan.

Hari itu, aula FISIP penuh dengan warna. Air mata, tawa, doa, dan kebanggaan. Setiap lulusan membawa cerita masing-masing, semuanya berpangkal pada satu keyakinan bahwa ilmu adalah cahaya, dan cahaya itu harus dibawa pulang untuk keluarga, untuk kampung halaman, dan untuk Papua.
Yudisium pun usai, tapi gemanya tak hilang. Ia hidup dalam langkah-langkah para lulusan yang kini menapaki dunia nyata. Dunia yang menuntut kerja keras, disiplin, tanggung jawab dan kerendahan hati dalam menghadapi peluang untuk mengabdi. Dari ruang kuliah di Kampus Abepura dan Kampus Waena, dari pesisir pantai hingga pelosok kampung di Tanah Papua, semangat itu terus menyala bahwa pendidikan tinggi bukan sekadar menambah gelar, melainkan menyalakan harapan bagi Tanah Papua yang dicintai. Mari kitong jaga negeri ini dengan pendidikan yang beradab dan berkarakter.* (gabriel maniagasi/tspp)
