Bagaimana Misi Gereja Katolik bisa masuk di Kampung Womsim? untuk mencari jawabannya telah dilakukan selama 21 tahun sejak 2004 sampai 2025. Ceriteranya tidak ada yang tertulis. Yang ada hanya ceritera–ceritera sepotong dari ingatan orang–perorang, ditambah dengan buku–buku sejarah umum tentang Misi Katolik di Papua dan Papua Selatan. Itulah yang saya sebut dengan Menulis Sejarah Tanpa Catatan. Lebih baik ada tapi tak sempurna, daripada tidak ada sama sekali. Itulah prinsip yang mendasari saya mencari dan menulis sejarah Misi Gereja Katolik di Womsim.

suaraperempuanpapua.com – WOMBON dan Simiram (Womsim) adalah sebuah kampung kecil terletak di tengah hutan belantara Papua Selatan. Secara administrasi gereja, masuk dalam wilayah Sakramen Maha Kudus Woropko, Keuskupan Agung Merauke. Kalau secara administrasi pemerintahan, masuk dalam wilayah Distrik Woropko, Kabupaten Boven Digoel.
Dalam menulis sejarah tanpa catatan ini menimbulkan pemikiran bahwa, ternyata Injil tidak hanya dikabarkan sampai di kota–kota besar. Tetapi juga sampai ke kampung–kampung terpencil di pelosok ujung bumi. Para utusan Tuhan membawa Kabar Sukacita tidak pernah mengenal perbedaan benua, pulau, bangsa, suku, kota, kampung, hutan, bukit, gunung ataupun lembah. Injil menembus beda dan batas. Injil dikabarkan kepada setiap orang yang hidup di bawah kolong langit.
Semangat para utusan Tuhan yang mengabarkan Injil didasarkan pada perintah Yesus saat terangkat ke Sorga: “pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku, dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman”. Matius 28: 19–20.
Amanat Yesus itulah para misionaris mengabarkan Injil mulai dari Yerusalem sampai juga ke Womsim, sebuah perkampungan terpencil di tengah hutan belantara di ujung Timur Pulau Papua.
Keinginan untuk menulis sejarah Womsim muncul tahun 2004. Pada saat itu, saya dari Jayapura turut menghadiri pesta perpisahan Bapak Guru Sebastianus Kanembay asal Kakuna. Dia telah menghabiskan masa remaja, masa muda hingga masa tua di Womsim. Dari semua guru yang pernah bertugas di Womsim, hanya Sebastianus Kanembay yang menghabiskan waktu selama 38 tahun tugas di: Simiram, Kinimtop dan Womsim.

Setelah hadir mengikuti pesta perpisahan guru yang paling dikagumi rakyat Womsim itu, muncul pemikiran, “mestinya sejarah kampung ini harus ditulis.” Sejak itu, saya mulai mengumpulkan ceritera-ceritera sepotong dari orang–perorang mengenai bagaimana kehidupan orang-orangtua di waktu dulu mengenal pendidikan, pemerintahan dan agama. Siapa yang bawa agama? siapa guru yang pertama datang ke kampung? Kenapa ada sebutan nama: Anumyandit lama, Kayogap lama, Tominap lama, Kotremku lama, dan lain-lain?
Pengumpulan data dilakukan melalui mendengar ceritera-ceritera orang-orangtua, wawancara orang-orangtua, orang-orang muda, mama-mama dan bapa-bapa di kampung dan di kota, membaca buku-buku sejarah pekabaran Injil di Tanah Papua, pelayanan Misi Katolik di Papua Selatan, sejarah perjalanan Pastor Petrus Hoeboer MSC mulai dari Merauke ke Muting, kemudian ke Ninati serta buku-buku sejarah Pemerintah Belanda di Papua maupun di Muyu.
Dari semua sumber tertulis yang saya baca, tidak ada uraian rinci mengenai kedatangan pelayanan Misionaris Katolik di wilayah Mandobo secara umum maupun secara khusus di tiap kampung di wilayah Mandobo. Ternyata sejarah hanya mencatat tempat tugas aparatur pemerintah dan misionaris di wilayah Boven Digoel, Muyu, dan lainnya. Sementara wilayah pelayanan di Mandobo tidak masuk dalam catatan mereka.
Pengumpulan data-data sejarah Womsim tentang gereja, pemerintah dan pendidikan dilakukan sejak 2004 sampai 2025. Selama itu pula saya dari Jayapura ke Merauke lanjut Tanah Merah dan ke Womsim rutin pergi–pulang. Perjalanan jauh dan tidak murah.
Untuk memastikan kesahian data sejarah Womsim yang saya kumpul melalui literatur dan wawancara, saya hantar surat permohonan permintaan data sejarah pelayanan Misi Katolik di Womsim secara khusus dan secara umum di wilayah Mandobo ke Kantor Keuskupan Agung Merauke sebagai pusat pelayanan dan pusat pekabaran Injil oleh Misionaris Katolik di Papua Selatan.
Di Kantor Keuskupan Agung Merauke, saya bertemu dengan Pastor Hendrikus Kariwop MSC, Pastor Paroki Katedral Santo Fransiskus Xaverius Merauke, sekaligus Wakil Uskup Agung Merauke, pada Selasa, 19 November 2024 pukul 11.15 siang. Saya bertemu menyampaikan tujuan kedatangan sekaligus menyerahkan surat permohonan permintaan data sejarah pelayanan Gereja Katolik di Womsim.

Wakil Uskup Agung Merauke, Pastor Hendrikus Kariwop MSC senang dan mendukung penuh rencana upaya penulisan buku sejarah Injil masuk di Womsim. Cuma tantangan yang akan dihadapi adalah sejarah pelayanan Misi Katolik di wilayah Mandobo secara umum dan secara khusus di tiap kampung, seperti di Womsim, di Winiktit, di Anyumka sulit ditemukan, karena:
Pertama, catatan sejarah Misi Katolik di wilayah Papua Selatan tidak mencatat secara rinci mengenai pelayanan Misi Katolik di wilayah Mandobo. Catatan yang ada di Keuskupan Agung Merauke hanya bersifat umum. 2) Semua imam, baik imam barat maupun imam pribumi yang pernah bertugas di wilayah Mandobo sejak awal sampai sekarang tidak mempunyai catatan harian pribadi, dan tidak pernah mencatat peristiwa-peristiwa penting dan peristiwa besar apa saja yang pernah mereka lakukan atau yang pernah terjadi selama mereka bertugas di wilayah Mandobo.
Ketiga, kita orang Mandobo sendiri tidak pernah menulis tentang sejarah Mandobo, termasuk sejarah pelayanan Misi Katolik di wilayah Mandobo. 4) Kita punya orang-orangtua dulu tidak pernah menceriterakan pengalaman dulu mengenai bagaimana pastor datang, pemerintah dibuka dan pendidikan dimulai. Sehingga anak–anak dan cucunya sekarang tidak tahu ceritera tentang jaman dulu itu bagaimana?
Kelima, dokumen atau catatan sejarah pelayanan Misi Katolik di Papua Selatan yang ada di Keuskupan Agung Merauke tidak ada mengenai pelayanan Misi Katolik khusus di wilayah Mandobo, termasuk apa yang pernah terjadi di wilayah Mandobo secara umum, dan juga secara khusus mengenai pelayanan Misi Katolik di tiap kampung. 6) Karena itu, yang bisa dilakukan adalah meminta keterangan dari banyak orang-orangtua, dan kembali minta data di Pusat Dekenat Muyu–Mandobo di Mindiptana. Karena Mindiptana yang menjadi pusat pelayanan Misi Katolik di wilayah Muyu, Mandobo dan Jair/Awuyu.
Ketujuh, mengingat tidak ada tahun pasti kapan pelayanan Misi Katolik dimulai di wilayah Mandobo? maka jika pernah ada peristiwa besar gerejani yang pernah dilakukan di Womsim atau di kampung lain, seperti pemberian sakramen permandian, sakramen komuni pertama, sakramen krisma, sakramen perkawinan dan lain-lain? Waktu pelaksanaannya itulah yang harus bisa disepakati sebagai waktu awal masuknya pelayanan Misi Katolik di semua kampung di wilayah Mandobo.

Selain kendala di atas, kami masyarakat Womsim juga bukan masyarakat menulis, melainkan masyarakat penutur. Namun demikian, sebagian besar orangtua yang tahu sejarah masuknya Misi Katolik ke kampung kami jarang atau bahkan tidak pernah diceriterakan kepada anak–anaknya. Sehingga anak–anak dan cucu–cucu sekarang tidak tahu bagaimana kehidupan masa lalu. Ditambah lagi kebanyakan dari orangtua yang tahu sejarah telah tiada.
Walau dalam berbagai keterbatasan, keadaan Pastor Hendrikus Kariwop MSC berharap sejarah Injil masuk di Womsim menjadi patokan waktu untuk adakan perayaan Injil masuk di wilayah Suku Mandobo.
Menulis sejarah tanpa catatan memang rumit, karena banyak peristiwa besar gereja yang pernah terjadi di kampung-kampung: Jumkubun, Tenotkalegap, Kayogap, Kanuyapin, Kotremku, Wombon, Kombrengga, Manggapkay, Tominap dan lainnya tidak ditulis. Orang–orangtua kami yang pernah mengalaminya di kampung–kampung tersebut dan sebagai pelaku sejarah hanya andalkan ingatan dan mereka semua telah tiada. Yang ada hari ini hanya anak-anak dan cucu-cucu yang tidak pernah tahu tentang sejarah masuknya: Agama, Pemerintah dan Pendidikan di Womsim. Karena para orang–orang tua terdahulu juga tidak pernah mewariskan ceritera waktu dulu.
Inilah tantangan terbesar dalam menelusuri dan menulis sejarah peradaban orang Womsim, yang ditandai dengan masuknya Misi Gereja Katolik di Womsim. Untuk menghindari subyektivitas penulisan sejarah ini, saya hanya selalu berdoa sebelum dan sesudah menulis setiap bagian naskah setiap hari:
“Tuhan yang tahu semua. Terangilah pikiran dan akal budi saya, supaya saya bisa menulis sejarah ini dengan baik bukan karena kepandaian saya, tetapi Tuhan sendiri yang tulis, agar setiap orang yang akan membacanya mengerti dan generasi muda Womsim yang akan datang tahu tentang sejarah masuknya Firman-Mu di Womsim. Tuhan, Kaulah yang menyempurnakan sejarah ini.”(*
Paskalis Keagop
