SULIT MENCARI IMAM PRIBUMI

Minat generasi muda pribumi Papua Selatan masuk seminari semakin sulit. Ada yang masuk, tapi putus di tengah jalan. Dan ada pula yang lulus seminari, tapi memilih kuliah di perguruan tinggi lain.

Pastor Hendrikus Kariwop MSC, bersama seorang mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi Fajar Timur Abepura, Jayapura, Benediktus Kowagup Anumyandit. Berharap kelak mengikuti jejak Hendrikus Kariwop jadi imam. Foto: Paskalis Keagop/suaraperempuanpapua.com

suaraperempuanpapua.com – SUDAH 120 tahun Misi Katolik masuk di wilayah Papua Selatan. Tetapi, wilayah yang menjadi basis pelayanan Misi Katolik itu baru memiliki 10 imam pribumi. Sebanyak lima imam telah berusia di atas 50 tahun, dan lima lainnya kurang dari 50 tahun. Kelangkaan imam pribumi pun menjadi permenungan dan pekerjaan besar Keuskupan Agung Merauke (KAMe).

Kenapa sekolah seminari sepi dari peminat? Apakah Papua Selatan tidak punya generasi muda? Apakah tidak tersedia sekolah seminari di Papua Selatan? Kenapa generasi muda tidak tertarik masuk seminari? Itulah beberapa pertanyaan kecil untuk menjawab pertanyaan besar, “Setelah 120 tahun Misi Katolik di Papua Selatan, Keuskupan Agung Merauke baru punya 10 imam pribumi.”

Sejak 1905 sampai 2025, Keuskupan Agung Merauke telah dipimpin oleh enam uskup. Yaitu dimulai dengan Uskup: Mgr. Johanes Aerts MSC (1920 – 1942), Mgr. Herman Tillemans MSC (25 Juni 1950 – 26 Juni 1972), Mgr. Jacobus Duivenvoorde MSC (26 Juni 1972 – 7 April 2004), Mgr. Nicolaus Adi Saputra MSC (1 April 2004 – 27 Juli 2019), Mgr. John Philip Saklil PR, Administrator KAMe (27 Juli – 3 Agustus 2019) serta Mgr. Petrus Canisius Mandagi MSC (11 November 2020 – sekarang, 2025).

Walau Keuskupan Agung Merauke telah dipimpin oleh enam uskup, namun setiap uskup punya kebijakan berbeda dalam mendorong panggilan generasi muda masuk seminari untuk menjadi biarawan–biarawati. Jumlah generasi muda pribumi Papua Selatan masuk seminari sangat sedikit. Kalau pun ada sedikit yang masuk seminari, tapi putus di tengah jalan dan kalaupun ada yang lulus seminari, melanjutkan ke perguruan tinggi lain.

Pastor Hendrikus Kariwop MSC, telah hidup membiara selama 25 tahun, sejak 30 Juni 2000 hingga 30 Juni 2025. Pada Perayaan 25 Tahun Imamatnya dirayakan sebanyak tiga kali di waktu dan tempat yang berbeda. Perayaan pertama dirayakan 30 Juni 2025 di Gereja Katedral Merauke, tempat pertama dia ditahbiskan menjadi imam. Pada Minggu 6 Juli dirayakan di kampung kelahirannya, Winiktit serta pada Kamis 10 Juli dirayakan di Mindiptana, tempat ia memulai pendidikan dasar hingga lulus sekolah menengah atas, dan melanjutkan ke sekolah tinggi seminari dan kemudian ditahbiskan menjadi imam.

Pastor Hendrikus Kariwop MSC, mempersembahkan Misa Kudus 25 Tahun Imamatnya di kampung kelahirannya, Winiktit, pada Minggu 6 Juli 2025. Foto: Paskalis Keagop/suaraperempuanpapua.com

“Kenapa saya rayakan misa 25 tahun imamat saya di Mindiptana? Karena saya menemukan mutiara pendidikan di sini,” ujarnya dalam misa saat kotbah di Gereja Katolik Mindiptana, pada Kamis 10 Juli.

Sebagai imam pribumi memiliki keprihatinan atas kelangkaan imam pribumi di wilayah Keuskupan Agung Merauke. Untuk menjawab keprihatinan itu, dia membangun komunikasi dan pendekatan dengan keluarga-keluarga terdekat maupun dengan lingkungan umat yang lebih luas untuk menarik minat generasi muda masuk sekolah seminari agar bisa menjadi biarawan dan biarawati.

Komunikasi dan pendekatan yang dilakukan Pastor Hendrikus Kariwop MSC, dimulai dari kampung kelahirannya maupun keluarga-keluarga dari kampung tetangga. “Memang awalnya, ada yang masuk seminari, tapi putus di tengah jalan, dan ada juga yang sampai tamat seminari, tetapi melanjutkan ke perguruan tinggi lain. Kondisi ini sering menimbulkan kemarahan dan kekecewaan dalam diri saya,” ujarnya saat ditemui di Winiktit usai misa Perayaan 25 tahun imamatnya, pada Minggu, 6 Juli 2025.

Sudah 25 tahun Hendrikus Kariwop hidup sebagai Imam, dan baru sekarang mulai ada seminari kecil dan seminari menengah di Keuskupan Agung Merauke. “Saya ini punya visi merekrut anak-anak untuk masuk seminari. Selain saya bicara, keluarga-keluarga saya dekati supaya ada anak-anak masuk seminari. Saya mulai dari Kampung Winiktit mulai dari keluarga-keluarga.

Ada beberapa yang sudah, tapi gagal. Tapi saya tidak putus asah, tetap berjuang terus. Sekarang ada satu, sudah masuk. Namanya, Benediktus Kowagup Anumyandit (Viktor Kowagup punya anak). Dia sudah selesai dari seminari dan telah menjalani Tahun Orientasi Rohani. Sekarang sudah masuk Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi Fajar Timur Abepura, Jayapura. Bapa dan mamanya dari Mandobo.”

Selain itu, “ada beberapa anak dari keluarga sendiri datang bicara dengan saya masuk sekolah di seminasi. Saya urus dia masuk di Pastor Bonus sampai tamat. Tapi dia memilih kuliah di perguruan tinggi lain. Ada beberapa anak lagi yang sedang sekolah di seminari. Ada anak masuk seminari, tapi anaknya nakal, jadi dipulangkan ke orangtuanya.

Pastor Hendrikus Kariwop MSC, memberkati dan membagikan rosario dan buku orasi kepada anak-anak dalam Misa Kudus 25 Tahun Imamatnya di Winiktit. Memupuk iman tumbuh dari dalam keluarga. Foto: Paskalis Keagop/suaraperempuanpapua.com

Ada satu yang saya sudah kirim kuliah di Manado. Dia dari Mandobo. Dia aktif di misdinar, setiap saat dia ada di pastoran. Ada lagi, anak sekolahnya sudah bagus, tapi kedapatan dia main hape, dan dikeluarkan.”

Secara realita jumlah imam pribumi Papua Selatan di Keuskupan Agung Merauke baru 10 orang. Ini terjadi karena kurangnya pembinaan dan tidak adanya seminari. Setiap keuskupan harus punya seminari menengah. Tapi dalam sekian waktu yang cukup lama, Keuskupan Agung Merauke tidak punya seminari menengah.

Dan baru mulai diusahakan pada masa Uskup Mgr. Nicolaus Adi Saputra, dengan adanya Pastor Bonus. Sekolahnya baru dimulai dan peminatnya kurang karena kurangnya sosialisasi, dan kurangnya promosi-promosi panggilan. “Itu yang membuat sampai imam kita kurang”, ujar Vikjen KAMe, Pastor Hendrikus Kariwop MSC.

Hal lain juga yang mempengaruhi kurangnya panggilan generasi muda masuk seminari adalah adanya pemekaran-pemekaran wilayah pemerintahan baru, kabupaten dan provinsi. Itu membuka peluang lapangan kerja begitu luas, dan generasi muda tidak peduli lagi dengan masuk seminari. Peluang lebih banyak terbuka di universitas bidang pemerintahan supaya bisa punya status, punya pekerjaan dan lainnya, ketimbang berkorban untuk pekerjaan menjadi pelayan Tuhan.

“Karena itu, sekarang kita KAMe sudah mulai dengan adakan seminari-seminari di masa Uskup Mgr. Petrus Canisius Mandagi MSC. Dengan keberaniannya membuka seminari-seminari kecil di beberapa wilayah, seperti di Tanah Merah Boven Digoel dan seminari menengah di Merauke Pastor Bonus. Jumlah yang masuk, lebih banyak anak-anak keriting. Kita mengharapkan beberapa tahun kemudian ada 10 atau 20 jadi imam asli Papua, itu syukur. Ini jadi harapan bisa mencukupi kekurangan imam pribumi khususnya,” ujar Pastor Paroki Katedral St. Fransiskus Xaverius, Hendrikus Kariwop MSC, pada Minggu 6 Juli 2025 di Winiktit.(*

Paskalis Keagop (Winiktit)