Anggota Komisi A DPR Kota Jayapura Zeth Edi Ohoiwutun melaksanakan masa reses kedua di Kampung Nafri Distrik Abepura Kota Jayapura, pada Selasa 17 Juni 2025.
suaraperempuanpapua.com – SELAMA dua hari ini, mulai Selasa 17 Juni hingga Rabu 18 Juni 2025 DPR Kota Jayapura melaksanakan masa reses dua. Selama dua hari masa reses itu, anggota DPR Kota Jayapura menggunakannya untuk mendengar aspirasi ke daerah pemilihan masing-masing. Masa reses tidak hanya dilaksanakan oleh anggota DPR perwakilan partai politik, tetapi diikuti juga oleh anggota DPR mekanisme pengangkatan di tiap daerah pengangkatan.
Pada kesempatan reses dua ini, Anggota Komisi A DPR Kota Jayapura Zeth Edi Ohoiwutun melakukan rapat dengar aspirasi masyarakat di Kampung Nafri Distrik Abepura Kota Jayapura, pada Selasa 17 Juni 2025. Rapat di Nafri diadakan sebanyak dua kali. Rapat dengar aspirasi pertama diadakan bersama masyarakat Warke Nafri dan rapat dengar pendapat kedua diadakan bersama masyarakat Sembekra Nafri.
Masyarakat Warke maupun masyarakat Sembekra Nafri sangat antusias mengikuti rapat dengar aspirasi bersama Anggota Komisi A DPR Kota Jayapura, Zeth Edi Ohoiwutun. Antusiasme warga Nafri tidak hanya terlihat dari jumlah warga yang menghadiri rapat, tetapi juga dalam sesi tanya jawab penyampaian aspirasi.

Semua warga yang hadir ingin bertanya dan menyampaikan aspirasi, namun waktunya sangat terbatas. Sehingga tidak semua warga yang hadir bisa bertanya atau menyampaikan aspirasinya. Rapat dengar aspirasi di Kampung Nafri dimulai pukul 11 siang hingga pukul 15 sore, Selasa 17 Juni 2025.
Dalam rapat dengar aspirasi itu, warga Kampung Nafri menyampaikan berbagai persoalan seperti masalah keuangan, pemerintahan, pembangunan dan hukum yang dihadapi masyarakat Nafri dalam kehidupan sehari-hari.
Beberapa masalah yang disampaikan warga Warke dan Sembekra Kampung Nafri kepada Anggota Komisi A DPR Kota Jayapura Zeth Edi Ohoiwutun diantaranya, pengelolaan dana kampung yang tidak jelas. Pengelolaan dana kampung masih terpusat pada aparatur pemerintahan kampung dan lebih diutamakan keluarga dekat.
Otonomi khusus belum membuat orang Port Numbai menjadi tuan di negeri sendiri. “Kita masih jadi penonton. Kebijakan para kepala daerah juga belum ada keberpihakan kepada orang asli Papua. Mereka lebih berpihak pada orang luar,” ujar Rina Tjoe. Orang asli Port Numbai kesulitan mendapat peluang kerja, karena itu perlu ada regulasi untuk memberi peluang kerja bagi orang asli Port Numbai.

Fasilitas kesehatan di Puskesmas Nafri yang tidak memadai. “Karena itu, kami minta Anggota Dewan tolong cek ketersediaan obat-obatan, vitamin, dokter spesialis, dan fasilitas kesehatan lainnya bagi ibu-ibu, anak-anak dan masyarakat umum di Puskesmas Nafri”, pinta salah satu tokoh perempuan Nafri, Thineke Fingkreuw.
Thineke Fingkreuw mengapresiasi rapat dengar aspirasi masyarakat bersama anggota DPR Kota Jayapura. “Pertemuan begini sangat bagus dan penting, karena masyakat bisa menyampaikan berbagai keluhan dan persoalan hidup yang mereka alami. Tetapi yang lebih penting dari pertemuan seperti ini, adalah kalau ada salah satu dari sekian aspirasi tadi bisa dijawab oleh Dewan. Misalnya, permintaan rumah tinggal oleh seorang ibu yang rumahnya sangat tidak layak huni. Jika itu bisa diwujudkan, maka masyarakat akan percaya dan berkesan. Sebab masyarakat butuh bukti, bukan sekedar menyampaikan aspirasi.”
Menanggapi keluhan masyarakat atas ketidakjelasan pengelolaan dana kampung di Nafri, Anggota Komisi A DPR Kota Jayapura, Zeth Edi Ohoiwutun mengatakan kondisi itu hampir sama terjadi di semua kampung, karena tidak ada transparansi dalam pengelolaan dana kampung. Nampaknya, masyarakat tidak tahu atau ada masyarakat yang tahu, tapi hanya satu dua orang saja yang tahu jumlah dana kampung. Kalaupun masyarakat tahu, tapi masyarakat tidak tahu dana kampung itu digunakan untuk apa?
“Ini salah satu kendala yang mengakibatkan masyarakat sulit memantau berapa anggaran digunakan untuk apa? Saya berpikir bahwa pengawasan terhadap dana kampung khusus di Kota Jayapura harus ditata. Dalam pertemuan itu, hampir semua anggota Badan Musyawarah Kampung mengatakan mereka tidak tahu jumlah dana kampung berapa, tetapi setiap bulan mereka terima insentifnya. Bahkan mereka juga tidak tahu fungsi Bamuskam itu apa?”

Selain Bamuskam tidak tahu jumlah dana dan penggunaannya, terjadi juga pemberhentian anggota Bamuskam tanpa prosedur hukum yang jelas. Padahal anggota Bamuskam diangkat berdasarkan surat keputusan bupati atau walikota. Oleh karena itu, pemberhentian anggota Bamuskam harus dengan surat keputusan. “Tidak bisa semena-mena, karena itu punya konsekuensi hukum,” tegas Edi Ohoiwutun.
Melihat berbagai permasalahan yang terjadi dalam pengelolaan dana kampung itu, maka Anggota DPR mekanisme pengangkatan Kota Jayapura dari daerah pengangkatan Nafri dan Koya Koso, Zeth Edi Ohoiwutun berpendapat bahwa pengawasan penggunaan dana kampung yang efektif tidak bisa mengharapkan kepada lembaga-lembaga seperti inspektorat, dinas pemberdayaan kampung atau lembaga apapun di pemerintah, karena mereka tidak bisa menjalankan pengawasan secara efektif dan berkala.
“Oleh karena itu, harus dipikirkan mekanisme pengawasan yang lebih efektif melalui pengawasan sosial oleh masyarakat. Saya berpikir untuk bagaimana merumuskan kebijakan sosial ini didorong supaya terbentuk dan pengawasannya dilakukan oleh lembaga yang otonom di tingkat kampung yaitu keondoafian dan perangkat organ-organnya seperti kepala suku dan lainnya,” ujar Zeth Edi Ohoiwutun. (*